Sabtu, Desember 19, 2009

Agama sebagai bagian dari solusi di Timur Tengah
oleh Ben Mollov





Yerusalem - Melibatkan agama pada konflik Arab-Israel tidaklah bisa dihindari. Agama sudah menjadi bagian dari konflik tersebut sejak permulaannya. Akan tetapi, dalam wacana publik, akar-akar yang berkaitan dengan agama dan budaya dari konflik tersebut cenderung diabaikan.

Konflik Arab-Israel mengekspresikan upaya dari kedua bangsa, Yahudi dan Arab, untuk mewujudkan kembali “era heroik” zaman dulu yang telah menjadi inti narasi kedua bangsa. Dua narasi ini telah dicelupkan dalam konteks agama dan budaya, dan karenanya mestilah tak dipisahkan dalam berbagai proses resolusi konflik.

Gerakan Zionis mengajukan solusi yang dibutuhkan orang-orang Yahudi untuk memperbarui diri mereka sesuai model peradaban Yahudi pada zaman turunnya Bibel di tanah moyang mereka. Walaupun banyak Zionis awal yang menolak praktik tradisional Yahudi yang mereka sebut dengan kepasifan, mereka larut dalam semangat Bibel, yang menjadi dasar kerinduan mereka terhadap Tanah Israel, dan mereka juga termotivasi oleh ide tentang bangkitnya bahasa Ibrani. Diciptakanlah etos budaya yang sepenuhnya baru bagi bangsa Yahudi yang baru dan bermartabat, yang bisa bercocok tanam di tanah tersebut dan, bila perlu, mempertahankannya sebagaimana pada masa Bibel, sembari membangun masyarakat maju yang berlandaskan warisan ajaran nabi-nabi Yahudi.

Pada saat yang sama, gerakan kebangkitan Arab, yang juga terjadi pada abad ke-19, berupaya mengingatkan kembali orang-orang Arab akan kenangan kejayaan Dinasti Islam Arab masa silam, demi menyisihkan persepsi yang meluas tentang kemerosotan identitas Arab dan ketaklukannya pada kekuatan-kekuatan luar. Rasa bangga yang meningkat terhadap bahasa dan karya-karya Arab, serta identifikasi diri dengan Masa Keemasan Arab—yang dikaitkan dengan kemunculan Islam—merupakan dorongan utamanya. Gerakan nasionalis Arab, yang merupakan ekpresi politik dari proses lanjut kebangkitan tersebut, memadukan tema-tema agama dan nasionalisme, di mana identitas dulunya dibentuk oleh warisan Islam, khususnya karena gerakan ini menyadari kelahiran gerakan Zionis.

Dua gerakan ini mulai bertabrakan di abad ke-20 saat visi dan narasi mereka yang berseberangan tentang tanah yang sama, diperparah oleh dinamika politik dan kependudukan yang kuat.

Di 2009, konflik narasi yang sama—yang saya yakini termotivasi oleh identitas agama—masih berada di dasar konflik Israel-Palestina. Diskursus yang sepenuhnya sekular tidak mampu menyentuh akar-akar yang lebih dalam dari konflik ini. Agar setiap proses resolusi konflik bisa bermakna, proses tersebut perlu menyentuh dan mendamaikan kedua narasi yang berlawanan ini.

Bahkan, kini ada kebutuhan mendesak untuk mengadopsi pendekatan ini lantaran komunitas Yahudi Israel telah semakin besar dan percaya diri, sementara komitmen umat Islam di seluruh dunia Arab telah semakin menguat di tahun-tahun belakangan ini.

Saya memulai kerja saya sendiri untuk dialog Israel-Palestina pada 1990-an dengan melibatkan para mahasiswa saya di Bar-Ilan, sebuah universitas Yahudi, untuk berdiskusi dengan para mahasiswa Palestina dari Universitas Hebron, sebuah lembaga pendidikan Islam. Selama lebih dari lima tahun para mahasiswa ini bertemu secara rutin dan secara mengagumkan mendapati agama sebagai dasar persamaan nilai.

Mereka menemukan struktur dan praktik yang mirip antara Islam dan Yahudi. Dengan menemukan banyak kesamaan dalam praktik sembahyang, berkabung, bahkan bioetika, misalnya, membantu mereka saling “memanusiakan”. Para mahasiswa ini kemudian mempunyai kesempatan untuk mendiskusikan isu-isu politik yang memecah belah dalam suasana yang lebih tenang.

Penemuan kesamaan-kesamaan itu, sungguh pun bermanfaat, hanyalah langkah awal dari sebuah proses yang lebih jauh. Langkah kedua, yang dimudahkan oleh langkah pertama, adalah mengidentifikasi faktor-faktor agama dan budaya yang melandasi keterikatan masing-masing terhadap tanah yang sama. Realisasi ini bisa mengarah pada eskalasi konflik, tetapi juga dapat membuka pintu menuju kesadaran kedua belah pihak untuk bisa menerima keberadaan yang lain.

Hal ini dapat terjadi sekalipun faktanya salah satu pihak tidaklah ada dalam “periode heroik” masa silam. Peradaban Yahudi di Tanah Israel di zaman Bibel ada sebelum kemunculan Islam, sementara semasa kekhalifahan Islam, orang Yahudi tidak lagi menjadi sebuah kekuatan politik yang aktif dan mandiri di kawasan ini.

Ada lagi langkah ketiga dalam proses ini, yang mencakup harapan-harapan transenden dalam agama-agama, seperti perjuangan akan martabat manusia, kebajikan dan perdamaian. Suatu diskusi di wilayah ini dapat mendorong orang Israel maupun Palestina untuk tidak melepaskan narasi dan aspirasi masing-masing, namun justru untuk melihat pembangunan Tanah Suci sebagai tema yang dijiwai bersama yang bisa dicapai dengan kerja sama.

Jadi strategi berbasis keagamaan bermain pada semua tingkat. Ini dapat mendorong orang Israel maupun Palestina untuk mengidentfikasi kesamaan budaya yang, pada gilirannya, dapat memperbaiki persepsi bersama. Kesamaan-kesamaan ini akan membuka jalan menuju penjelajahan yang lebih jauh terhadap keterikatan mereka terhadap tanah yang sama tersebut.

Akhirnya, nilai-nilai transenden agama dapat memotivasi sebuah visi untuk sebuah kehidupan yang patut di Tanah Suci, dan bisa mendukung suatu proses politik. Pendekatan semacam ini dapat menjangkau hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh pendekatan manajemen konflik yang murni sekular. Oleh sebab itu, pendekatan ini harus diindahkan oleh para pembuat kebijakan yang terlibat dalam proses perdamaian.

###

* Dr. Ben Mollow mengajar ilmu politik dan manajemen konflik di Universitas Bar-Ilan, Israel, tempat ia menjalankan Proyek Kajian Agama, Budaya dan Perdamaian. Artikel ini ditulis untuk Common Ground News Service (CGNews).

Artikel ini diringkas dan didistribusikan oleh Common Ground News Service
(CGNews) setelah mendapatkan izin.



Memahami Gerakan Islam Transnasional: Sebuah Pengantar

Memahami Gerakan Islam Transnasional: Sebuah Pengantar*

Oleh Alamsyah M. Dja’far**


Setahu saya, di Indonesia istilah ideologi transnasional ini dipopulerkan pertama kali oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Muzadi, sejak pertengahan 2007 silam. Istilah itu merujuk pada ideologi keagamaan lintas negara yang sengaja dimpor dari luar dan dikembangkan di Indonesia. Menariknya, ideologi ini menurut Hasyim Muzadi bukan hanya datang dari Timur Tengah, tapi juga dari Barat. Kelompok seperti Majlis Mujahidin, Ikhawanul Muslimin, Jaulah , Al-Qaeda disebut sebagai kelompok yang dikategorikan ideologi transnasional dari Timur (NU Online, 15/05/2007). Sedangkan Jaringan Islam Liberal, seperti sering dilontarkan Hasyim Muzadi, kelompok yang mengembangkan ideologi transnasional dari Barat.
Sebagai sebuah labeling, istilah ini –jika hanya sekadar dipahami karena sifatnya yang lintas negara, dan karena itu bukan “murni” Islam Indonesia— menurut saya masih memunculkan pertanyaan baru. Benarkah ada Islam “murni Indonesia” itu? Tidakah Islam ala NU atau Muhammadiyah misalnya, juga muncul karena persentuhannya dengan dunia luar, terutama dari Timur Tengah? Bukankah tradisi keilmuan yang dikembangkan di lingkungan NU dan Muhammadiyah sebagiannya juga diimpor dari Timur Tengah? Pertanyaan yang lebih mendasar lagi adalah bukankah sifat agama itu sendiri sebetulnya transnasional dalam pengertian lintas wilayah? Jadi labeling ini memang masih memerlukan kategori-kategori khusus untuk memperkuat atau membatasi definisi yang lebih tegas, apa makhluk ideologi transnasional ini.
Dalam tradisi kesarjanaan dan pers Barat sebelumnya, labeling yang agak senada dengan makna ideologi transnasional ini memakai istilah fundamentalisme yang setidaknya digunakan dalam tiga pengertian (John L. Esposito, 1994; 17-18). Pertama, semua usaha untuk kembali pada kepercayaan dasar. Dalam konteks masyarakat Islam adalah usaha kembali kepada al-Quran dan Hadis sebagai model hidup normatif. Kedua, pengertian yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Protestanisme Amerika. Fundamentalisme adalah gerakan Protestanisme abad 20 yang menekankan penafsiran Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan  dan ajaran Kristen. Bagi kebanyakan orang Kristen, cap ini bernada penghinaan yang berarti dekat dengan  sesuatu yang statis, kemunduran dan kejumudan. Ketiga, istilah untuk untuk menyebut sesuatu yang terkait dengan aktivitas politik, ekstrimisme, fanatisme, terorisme, dan anti-Amerikanisme.
Karena dianggap terlalu terbebani dengan praduga Kristen dan stereotif Barat, John L. Eposito gerakan ini dengan “Kebangkitan Islam” atau “aktivisme Islam” yang dinggap lebih sesuai dengan nilai-nilai dalam tradisi Islam seperti konsep tajdid (pembaruan) dan islah (perbaikan). (John L. Eposito, 1994; 18).
Dengan alasan yang hampir mirip pula, sebagian akademisi menyebut gerakan ini dengan “islamisme”. Itu merujuk pada pandangan yang berusaha melihat Islam sebagai ideologi yang tidak hanya harus diterapkan dalam wilayah politik, tapi juga pada segala dimensi kehidupan masyarakat modern (Oliver Roy, 2004; h. 58). Dalam pandangan kelompok ini, Islam harus menentukan segala bidang kehidupan dalam masyarakat tersebut, dari cara pemerintahan, pendidikan, sistem hukum, hingga kebudayaan dan ekonomi. Dari cara pandang ini karena itu kelompok ini melihat pentingnya kehadiran negara atau sistem Islam. Sementara sebagian besar muslim justru melihat, menjadi muslim tanpa harus menjadi islamis adalah sesuatu yang mungkin.
Jika pengertian transnasional ini secara substansial tak beda dengan pengertian islamisme ini, maka fenomena gerakan ini sebetulnya bisa ditarik ke belakang pada akar sejarah kebangkitan dan pebaharuan Islam yang berkembang di Timur Tengah sejak abad ke-18: gerakan Muhammad bin Abdul wahab (1703-1787) di Arabia tengah; gerakan pada abad ke-19 dan ke-20 yang dipimpin oleh tiga pemikir: Jamaludin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935). (Greg Fealy dan Anthony Bubalo, 2007; 30).
Gerakan yang dikembangkan Abdul Wahab untuk kembali pada as-salaf ash-shalih, tiga generasi pertama sahabat Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabi ini membayang-bayangi lahirnya Ikhwanul Muslimin oleh Hassan Al-Banna di Mesir pada 1928. Pendiri gerakan itu berpandangan, ancaman Barat yang tidak hanya berbentuk fisik tapi juga intelektual dan spiritual harus dilawan dengan kembali pada dasar-dasar Islam, dan perlunya al-nizham al-islami, negara atau sistem Islam.
Setelah kematian Al-Banna akhir 50-an gagasan ideologi selanjutnya dikobarkan oleh sang ideolog handalnya Sayyid Qutb. Tokoh ini sendiri dieksekusi pemerintah Mesir pada 1966. sebelumnya, setelah kebijakan represi dilakukan pemerintah Mesir, sebagian aktivis Ikhawanul Muslimin mengungsi ke Arab Saudi. Salah satunya adalah Said Ramadhan yang kemudian menjadi salah seorang pendiri Rabithah al-Alam Islami. Menantu al-Banna ini kemudian pindah ke Jenewa untuk mengembangkan ideologi Ikhwan di kawasan Eropa. Muhammad Qutb, adik kandung Sayyid Qutb juga ikut pindah ke Arab Saudi yang kemudian menjadi dosen di King Abdul Aziz University Jeddah dan mengajar Osama bin Laden, salah seorang mahasiswanya. (Abdurrahman Wahid [ed]; 2009; 82).
Pada era 50-an pula Taqiudin Al-Nabhani (1909-1997) mendirikan Hizbuttahrir di Yerussalem timur yang waktu itu dikuasai Yordania. Gerakan Ikhawanul waktu itu ditudingnya terlalu moderat. Konflik Israel-Palestina dipandang Taqiudin mencerminkan konflik yang lebih luas antara dunia Islam dan non-Islam. Untuk memenangkan pertarungan itu, ia menilai perluanya khilafah Islamiyah internasional, yang diawali dari teritori kawasan Arab dan kemudian membentang ke wilayah non-Arab.

Konteks Perkembangan Transnasional di Indonesia
Pengaruh Timur Tengah atas Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak abad ke-17. Kelahiran ormas seperti Muhammadiyah, dan kemudian direspon dengan kelahiran Nahdlatul Ulama juga tak bisa dilepaskan dari pengaruh Timur  Tengah ini. Kedua tokoh pendiri ormas ini, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyari, sama-sama mendalami ilmu agama di Timur Tengah. Selama beberapa abad sejarah mencatat banyak orang Indonesia pergi ke Timur Tengah baik sebagai haji, pedagang, pelajar, dan ulama.
Dalam konteks yang paling mutakhir, kalangan pelajar atau mahasiswa yang belajar di Timur Tengah agaknya merupakan saluran paling penting pendistribusian ide-ide Islamis ini. Di tengah situasi sosial politik yang represif yang dikembangkan Orde Baru kala itu rupanya membuat ide ini bisa berkembang dan diminati sebagian kalangan generasi muda muslim perkotaan.
Hal yang saya kira menarik dicatat dari studi Greg Fealy dan Anthony Bubalo mengenai pengaruh Islamisme Timur Tengah di Indonesia adalah penegasannya untuk tidak melihat gerakan transnasional ini sebagai gerakan yang monolitik. Dengan melihat islamisme ala Timur Tengah hanya sekadar gerakan yang radikal, ekstrim, bukan hanya melahirkan sikap permusuhan baru tapi juga bisa abai pada gradasi islamisme yang lebih moderat tapi pada dasarnya tetap problematik bagi penguatan negara Indonesia. Gerakan-gerakan mempromosikan sejumlah perda syariat di banyak daerah di Indonesia adalah strategi yang jauh lebih moderat bahkan terkesan demokratis adalah salah satu varian strategi gerakan transnasional ini.
Studi keduanya berusaha memberi gambaran yang lebih bervariasi baik ketika menjelaskan jalur pengaruh Timur Tengah atas Indonesia, maupun ketika mengategorikan kelompok-kelompok islamis ini.
Jalur transmisi ide-ide islamisme itu menurut studi ini setidaknya mengambil tiga jalur (Greg Fealy dan Anthony Bubalo; 84) . Pertama, gerakan-gerakan sosial. Di jalur ini transmisi ide dibawa oleh pelajar atau mahasiswa yang belajar di Timur Tengah. Mereka belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Universitas Islam Madinah, Universitas Umul Qura Mekah, Universitas al-Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, atau Universitas King Abdul Aziz. Sementara itu, saluran utama kelompok jihadis adalah melalui perang Afghanistan pada 1980-an yang kemudian melahirkan kelompok Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah.
Kedua, jalur pendidikan dan dakwah. Lembaga-lembaga dan beberapa  orang dari negara Timur Tengah termasuk Mesir  Kuwait belakangan cukup aktif berkiprah di bidang pendidikan dan dakwah di Indonesia. Agen-agen itu meliputi atase kedutaan Arab Saudi di Jakarta, Rabithah Alam Islami, International Islamic Relief Organization (IIRO) dan Word Assembly Muslim Youth (WAMY), atau lembaga amal nonpemerintah seperti al-Haramain –yang cabangnya di Indonesia dituding Amerika sebagai organisai pendukung terorisme (Greg Fealy; 92).
Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Cabang Universitas al-Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, Arab Saudi juga dianggap salah satu lembaga yang mentransmisikan ide-ide ikhawanul muslimin dan salafi. Sebagian alumninya ada yang menjadi petinggi PKS. Penelitian Sidney Jones menyebut sebagian besar para alumni menjadi figur berpengaruh dalam gerakan salafi di Indonesia melalui penerbitan, atau dengan menjadi dai, guru maupun ulama. (Greg Fealy; 96). Tiga organisasi yang secara khusus mendapat dukungaan signifikan dari Saudi adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jamiat Islam wa al-Irsyad dan Persis.
Ketiga, jalur publikasi dan internet. Melalui sejumlah media baik cetak maupun online, atau buku-buku dalam versi Arab maupun terjemahan, juga menjadi salah satu jalur transmisi cukup efektif. Beberapa penerbit buku di Indonesia bahkan mengkhususkan menerbitkan atau menerjemahakan buku beraliran salafi dan pemikiran-pemikiran dari kalangan Ikhwanul Muslimin.
Studi Greg Fealy dan Bubalo ini selanjutnya menyebut tiga arus utama gerakan islamisme yang  ada di Tanah Air. Pertama, ikhawanul muslimin yang diadopsi gerakan tarbiyah dan mulai berkembang di perguruan tinggi di era 80-an dan awal 90-an. Di masa itu tentu saja gerakan ini berkembang underground di bawah tekanan rezim Soeharto. Konsolidasi ini menemukan momentumnya ketika rezim Soeharto tumbang. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang berdiri pada April 1998, sebagian pemimpinnya kemduian mendirikan Partai Keadilan Sejahtera (waktu itu bernama Partai Keadilan).
Kedua, kelompok salafi. Kelompok ini sebagian besar berbasis lembaga dakwah dan pendidikan. Misalnya Yayasan al-Sofwah, Yayasan Ihsa at-Turost, dan Al-Haramain al-Khoiriyah. Gerakan salafi yang cukup fenomenal adalah Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Waljamaah (FKAWJ) yang melahirkan Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Tholib. Berdiri 1998, bubar Oktober 2002.
Ketiga, kelompok jihadi. Kelompok ini adalah kelompok paling ekstrem dari gerakan islamisme yang mengesahkan kekerasan seperti bom bunuh diri. Jaringan Islamiyah yang didirikan pada 1 Januari 1993 oleh Abdullah Sungkar termasuk kelompok. Jejaring inilah yang  kemudian melakukan aksi-aksi bom bunuh diri seperti yang dilakukan Imam Samudera dan kawan-kawan.

Beberapa Respon Gerakan

Sifat gerakan baru ini yang dinilai tampak “membuldoser” pemahaman keagamaan yang sudah tumbuh lebih dulu seperti kalangan Nahdliyin atau Muhammadiyah, tentu saja telah melahirkan respon dalam berbagai gradasinya, mulai dari lunak hingga keras. Apalagi jika dianggap kelompok tersebut “mengancam” dalam bentuk mengambil aset mereka seperti jamaah, masjid, atau lembaga pendidikan.
Karena gerah dengan fenomena yang muncul, Muhammadiyah misalnya mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) pada Desember 2006 tentang Kebijakan Pimpinan Muhammadiyah mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah. Disurat itu, SKKP jelas menyebut PKS sebagai partai politik yang telah memanfaatkan Muhammadiyah berikut ases-asetnnya seperti masjid, lembaga pendidikan, maupun amal usahanya, untuk tujuan politik.
Tahun 2007, forum Bahstul Masail di Pesantren Zainul Hasan Genggong menghasilkan keputusan bahwa tak ada satupun nash dalam al-Quran yang mendasari gagasan negara Islam. Negara Islam atau khilafah Islamiyah merupakan persoalan ijtihadiyah. (KH. Abdurrahman Wahid; 254). Isu perebutan masjid oleh kelompok  tertentu di kalangaan NU juga sudah kencang disuarakan setahun sebelumnya.
Namun perlu disadari, respon yang refresif  apalagi mengunakan tangan negara memberangus kelompok ini, kecuali sudah mengarah pada aksi-aksi teror, agaknya justru akan membuat gerakan ini makin menguat. Bagaimanapun gerakan ini lahir dari konteks situasi sosial-politik yang mereka anggap tidak adil dan represif. Jose Casanova dala Public Religions in the Modern World (2004) mencatat gejala mendesakan agama ke level negara justru dianggap sebagai dampak dari proses sekularisasi baik dalam pengertiannya sebagai proses “kemunduran agama” (religious decline) maupun “privatisasi” (privatization) yang jelas hendak meminggirkan agama dalam wacana publik. Sekularisasi itu lalu melahirkan fenomena gerakan “deprivatisasi”(deprivatization) agama yang berkembang sejak awal tahun 1990-an di banyak negara termasuk negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. (Benyamin Fleming Intan; 2006; 14 ).
Dalam konteks ini penting untuk melihat konteks lokal Indonesia dimana kelompok berkembang. Betapapun gagasan yang diimpor itu selalu akan mengalami dialog dan penyesuaian-penyesuaian. Inilah yang terjadi dengan gerakan PKS yang tidak semata-mata saklek mengadopsi ideologi Ikhawanul Muslimin.
Respon atas gerakan tersebut seyogyanya juga dilihat dalam konteks “perang gagasan” yang dilakukan secara terbuka, dan pada saat yang sama memperkuat basis jamaah di masing-masing pihak. Perlu ditegaskan pula di sini, bahwa konsep negara Pancasila adalah hal final dan hasil kompromi dari berbagai kepenti ngan, termasuk kepentingan kelompok islamis ini.
Sebagai gerakan kultural keagamaan konsep kebangsaan yang jelas yang ditunjukan kalangan Nahdliyin terhadap Pancasila harus terus dialogkan. Islam dalam pandangan Kalangan Nahdliyin bukanlah untuk menggantikan negara, melainkan melangkapi. Menjadi muslim sekaligus menjadi warga negara Indonesia.  Sikap ini sudah ditunjukan jauh sebelum republik ini berdiri.  Melalui Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936, kalangan NU berpandangan jika Indonesia yang saat itu dikuasai negara Hindia Belanda dinyatakan sebagai “negara Islam” yang sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan gerakan Islamis Indonesia dewasa ini yang hendak menggantikan fondasi negara (Imam Ghazali Said; 2006).
Dengan merujuk kitab Bughyatul Mustarsyidin (hasrat para pencari petunjuk) bab Hudnah wal Imamah (perdamaian dan kepemimpinan), Indonesia dinilai sebagai negara Islam karena pertimbangan bahwa mayoritas penduduknya muslim dan pemerintah yang berkuasa saat itu tidak juga melarang orang untuk menjalankan agamanya, termasuk alasan bahwa wilayah Nusantara sejak dulu pernah dikuasai kerajaan-kerajaan Islam.
Sikap yang tegas atas konsep bernegara-berbangsa inilah yang sesungguhnya menjadi tugas bersama termasuk komunitas pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Selamat Bekerja!

Bahan Bacaan
Esposito, Jhon L., Ancaman Islam Mitos atau Realitas (tej) (Bandung: Mizan, 1996) Cetakan III  (edisi revisi)
Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia. terj, (Bandung; Mizan, 2007)
Intan, Benyamin Fleming “Public Religion” and the Pancasila-Based State of Indonesia: An Ethical and Sociological Analysis, (Newyork: PeterLang Publishing, 2006)
Said, Imam Ghazali (ed), Solusi Hukum Islam, Keputusan Muktamar dan
Konbes (1926-2004), (Surabaya; Diantama, 2006)
Wahid, Abdurrahman (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: Gerakan Bhineka Tunggal Ika-the Wahid Institute-the Maarif Institute, 2009



MISTERI ISLAMISASI JAWA
Berikut Isi Tulisan Dari Prof. Hasanu Simon :
I
Sebelum saya sampaikan tanggapan dan komentar saya terhadap buku berjudul “Syekh Siti Jenar, Ajaran dan Jalan Kematian”, karya Dr Abdul Munir Mulkhan, saya sampaikan dulu mengapa saya bersedia ikut menjadi pembahas buku tersebut. Tentu saja saya mengucapkan terima kasih kepada panitia atas kepercayaan yang diberikan kepada saya di dalam acara launching buku yang katanya sangat laris ini.
Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih Jurusan Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta tahun 1978, orientasi sistem pengetolaan hutan mengalami perubahan secara fundamental. Kehutanan tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen di bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan hutan dengan masyarakat mulai jaman kuno dulu. Di situ saya banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi yang amat menarik.
Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejarah yang amat panjang dan menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial (social forestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan. Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku dan Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama “Het Book van Mbonang”, yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti sosiologi dan antropologi.

Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia. Jadi seandainya tidak ada “Het Book van Mbonang”, kita tidak mengenal sama sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi dengan data obyektif. Kenyataan sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo, dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu yang berkembang lalu kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syekh Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan. Kisah Walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan.
Pembawa risalah Islam, Muhammad SAW yang lahir 9 abad sebelum era Wallsongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di Tho’if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang Uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan Majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan melemparkan sebuah bollpoint ke pasukan Majapahit. Begitu dilemparkan bollpoint tersebut segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar menyerang pasukan Majapahit dan bubar serta kalahlah mereka. Keris itu kemudian diberi nama Keris Kolomunyeng, yang oleh Kyai Langitan diberikan kepada Presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang sedang digelar, dan temyata tidak ampuh.
Kisah Sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari tatal dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari Gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi; salah seorang pembantunya mampu melihat Masjidil Haram dari Surabaya untuk menentukan arah kiblat. Pembuat ceritera ini jelas belum tahu kalau bumi berbentuk bulat sehingga permukaan bumi ini melengkung. Oleh karena itu tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.
Islam juga mengajarkan bahwa Nabi lbrahim AS, yang hidup sekitar 45 abad sebelum era Walisongo, yang lahir dari keluarga pembuat dan penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwah untuk anti berhala . Ini menunjukakan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan jaman dibanding dengan kisah yang dialami oleh orang-orang yang menjadi panutannya, pada hal selisih waktu hidup mereka sangat jauh. “Het Book van Mbonang” yang telah melahirkan dua orang doktor dan belasan master bangsa Belanda itu memberi petunjuk kepada saya, pentingnya menulis sejarah berdasarkan fakta yang obyektif “Het Book van Bonang” tidak menghasilkan kisah Keris Kolomunyeng, kisah cagak dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing, dan sebagainya.
Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk ikut menulis tentang Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya belum selesai, tapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan. Itulah sebabnya saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku Syekh Siti Jenar karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu.

Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan akidah Islamiyah, tetapi juga sudah ketinggalan jaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan. Secara umum dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita justru ingin kembali ke belakang? Kalau kita masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.
II
Siapa Syekh Siti Jenar ? Kalau seseorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu isi buku dapat dijadikan tolok ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwama kuning, penulisnya juga berwama kuning. Sedikit sekali terjadi seorang yang berfaham atheis dapat menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal itu sangat bertentangan. Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi, karena antara pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi tidak mustahil kalau Isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku tentang Bertemak Kambing Ettawa menerangkan seluk-beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa.
Judul buku karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini adalah: “Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaiamana dia mati. Penulis buku juga setia dengan ketentuan seperti itu.
Bertitik-tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai dengan 6 Bab Satu tidak relevan.. Bab Satu diberi judul: Melongok Jalan Sufi: Humanisasi Islam Bagi Semua. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pemyataan (statements) yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.

Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Pemyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya; oleh karena itu peryataan yang tidak ada sumbemya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Peryataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan musti disusun menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan uraian tentang asal-usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan (Paragraf I Bab Satu, halaman 3-10). Di dalam paragraf tersebut diterangkan asal-usul Syekh Siti Jenar tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shofiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah putera seorang raja pendeta dari Cirebon bemama Resi bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Di dalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut. Kejanggalan-kejanggalan itu adalah:
1. Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta benama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini kan tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.
2. Di halaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang mengangap agama Hindu dan Budha sama. Pada hal ajaran kedua agama itu sangat berbeda, dan antara keduanya pernah terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa
Eropa.
3. Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang “raja pendeta” yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal terjadi.
4. Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehinga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang “raja pendeta” menyihir anaknya menjadi cacing. Ilmu apakah yang dimiliki “raja pendeta” Resi Bungsu untuk merubah seseorang menjadi cacing? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketenteraman batinnya? Ceritera seseorang mampu merubah orang menjadi binatang ceritera kuno yang mungkin tidak pemah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5. Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menembel perahu Sunan Mbonang yang bocor.. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu gaib kepada Sunan Kalijogo. Betapa luar biasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban,sedang cacing Syekh Siti Jenar dibuang di sungai daerah Cirebon. Di tempat lain dikatakan bahwa Sunan Mbonang mengajar Sunan Kalijogo di perahu yang sedang terapung di sebuah rawa. Adakah orang menembel perahu bocor dengan tanah? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh katutan (membawa) cacing.
6.. Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu gaib kepada para muridnya. Tidak pemah diterangkan, bagaimana hubungan Hasan Ali dengan Sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali lalu merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu gaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu gaib dari Sunan Giri, pada hal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung.

Al hasil, seperti dikatakan oleh Dr Abdul Munis Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau tidak . Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, di samping tempat lahimya, di mana sebenamya tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah: Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Di mana letak Siti Jenar atau Lemah Abang itu sampai sekarang tidak pemah jelas; padahal tokoh terkenal yang hidup pada jaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.
Karena keraguan dan ketidak-jelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pemah ada. Lalu apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti. Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada, mengapa kita ber-tele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pemah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka memperbandingkan dengan Al Qur’an dan Hadits yang amat jelas asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh ke depan jangkauannya, tinggi muatan ipteknya, sakral dan dihormati oleh masyarakat dunia.
Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid, maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu sebagai orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al Qur’an dan kerosulan Muhammad Saw, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang berusaha untuk merusak akidah Islamiyah ini.

III
Sunan Kalijogo
Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur Yang beragama Islam.
Silsilah Raden Sahur ke atas adalah putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II, putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenamya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau atau tidak dijumpai dalam media cetak sehingga tidak diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).
Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinil tentang kisah tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari cerita rakyat yang versinya banyak sekali.. Mungkin cerita rakyat itu bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum atau penentangnya.
Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SR, di desa kalahiran ibu saya Pelempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angkan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut Kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek. Mengapa demikian? Isi Suluk Linglung temyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali di dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo.. Seorang pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, dan ternyata disimpan oleh Ny Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendin’ menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan Kalijogo menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu melain sholat da’im. Menurut Ustadz Mustafa Ismail LC, da’im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca Laa illaha ilalloh kapan saja dan di mana saja tanpa harus wudhu dan rukuk-sujud. Atas dasar itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Jenar sebenamya adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas untuk menyelesaikan buku-buku saya
tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjatidiri seperti tertulis di dalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berfaham manunggaling kawulo Gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah murid dengan tauhid murni, yaitu Joko Katong yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas sampai sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R Ng Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie termasuk Ny Ainun Habibie.

IV
Walisongo
Sekali lagi kisah Walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya “Mengislamkan Tanah Jawa” telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut dalam cerita mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau yang bertentangan dengan akidah Islamiyah.
Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan dua temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaja dengan tarian oleh penan putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah ta’awudz. Yang dimaksudkan pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian auratnya terbuka. Namun para pengagum Walisongo akan “kecelek” (merasa tertipu, red) kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinil yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki. Menurut sumber tersebut, temyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I lalu ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan di berbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja.. Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar di
Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah.

Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki. Berita ini tertulis di dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghribi. Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat (??).
Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Wallsongo versi Jawa. Ternyata memang sejarah Walisongo versi non-Jawa, seperti telah disebutkan di muka, tidak pemah diekspos, entah oleh Belanda atau oleh siapa, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenamya. Dengan informasi baru itu menjadi jelaslah apa sebenamya Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam. Oleh karena gerakan ini mendapat perlawanan dengan gerakan yang lain, termasuk gerakan Syekh Siti Jenar.
Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang mula-mula tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul Ajaran Syekh Siti Jenar karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar. Ki Panji Notoro memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan Adipati seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal di masyarakat tidak berkembang sama sekali.

Memahami Al Qur’an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak disadari dengan ilmu. Penafsiran Al Qur’an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo agama yang dianut kerajaan adalah agama manunggaling kawulo Gusti. Di samping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan antar agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh (telah diterangkan sebelumnya). Sampai dengan era Singasari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha dan Animisme yang juga sering disebut Agama Jawa. Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir Singasari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkat Buda dan Ja mewakili agama Jawa.
Nampaknya sintesa itulah yang, ditiru oleh politik besar di Indonesa akhir decade 1950-an dulu, Nasakom. Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme yang melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan. Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di-dhompleng-kan kepada salah satu anggota Walisongo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti telah disebutkan di muka.
Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam. Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya diambil potongan-potongannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan- potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr Abdul Munir Mulkhan tanpa telaah yang didasarkan pada dua hal, yaltu logika dan aqidah.

Pernyataan-pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini telah saya singgung di muka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah Ketua sebuah organisasi Islam besar. Misalnya pernyataan yang menyebutkan: “ngurusi” Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya.

Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang pemah menggelar kethoprak dengan lakon “Patine Gusti Allah” (matinya Allah,red) di daerah Magelang tahun 1965-an awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan.
Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rosululloh juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik, secara ritual saja. Dengan Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena kehidupan muslimin harus memenuhi dua aspek, yaitu hablum minannaas wa hablum minalloh.

Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan dengan menulir buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibanding dengan mempelajari fikih atau syariat. Islam tidak mengkotak-kotakkan antara fikih, sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleksnya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar syariah merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al Qur’an. Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahun bahasa Arab saja yang boleh belajar Qur’an. Di sini nampaknya penulis lupa bahwa untuk belajar Al Qur’an ada, dua syarat yang harus dipenuhl, yaitu muttaqien (Al Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah dicontohkan oleh Muhammad Saw. Jadi sebenamya boleh saja siapapun mengkaji Al Qur’an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belaiar Al Qur’an yang memenuhi kedua syarat itu, misalnya kepada Ustadz Umar Budiargo, ustadz Mustafa Ismail, dan banyak lagi, khususnya alumni universitas Timur Tengah. Jangan belajar Al Qur’an dari pengikut ajaran Syekh Siti Jenar karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah gerakan untuk melawan Islam.

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JSIiysNe

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JNBpubYr

0 komentar:

Bookmark and Share