Rabu, Desember 09, 2009



Kemerdekaan di Tengah Debu-debu Terorisme
Oleh : Agus Iswanto, S.SI

Apa arti kemerdekaan di tengah masa yang penuh debu-debu terorisme? Atau apa arti kemerdekaan enam puluh empat tahun negeri yang disebut Indonesia ini? Juga, apa arti kemerdekaan bagi 230 juta (kira-kira) penduduk Indonesia yang belum lagi tenteram hatinya, ketika banyak teror yang menghantui? Mula-mula saya ingin memperluas makna kemerdekaan. Kemerdekaan yang maknanya bukan hanya sebatas proklamasi kemerdekaan 17 Agustus oleh Soekarno dan Hatta. Kemerdekaan yang tidak sebatas upacara bendera yang dilakukan setiap peringatan hari kemerdekaan itu. Juga bukan kemerdekaan yang melulu bermakna lomba panjat pinang, lomba baris-berbaris anak-anak sekolahan, atau lomba karaoke dan panggung ndangdutan atau show musik di dusun-dusun setelah sebelumnya dilakukan “tirakatan.”
De-jure Indonesia telah merdeka sejak Soekarno-Hatta memproklamasikannya pada tanggal 17 Agustus 1945, bahkan hingga sekarang. Namun de-facto perlu dipertanyakan kembali, apakah sudah sungguh-sungguh kita merdeka? Klise memang pertanyaan ini, sebab setiap tahun kali kita memperingati kemerdekaan, pertanyaan ini selalu muncul dan muncul lagi. Tak ada yang bisa menjelaskan secara gamblang atau memang belum ada jawabannya, sehingga pertanyaan itu selalu muncul, saya juga tidak tahu. Tapi memang terkadang, pertanyaan tak selalu membutuhkan jawaban yang cepat dan instant. Lebih-lebih jawaban itu menyangkut nasib berjuta-juta rakyat Indonesia.

Kita juga terkadang sulit untuk membedakan antara kerjasama dan penjajahan. Sebab terkadang, di tengah zaman globalisasi ini, kerjasama bisa menjadi “baju baru” bagi penjajahan. Orang-orang menyebut ini dengan neo-colonialism atau penjajahan baru. Apa indikasinya? Lihat, siapa yang mengelola ladang emas di tanah burung cendrawasih? Siapa pula yang mengolala taman timah di pulau laskar pelangi: Belitong? Minyak dan gas milik kita, diimpor ke luar negeri, lalu kita beli dengan harga luar. Ironis. Siapa yang menguasai finansial di negeri ini? Siapa yang punya modal hingga banyak dibangun mall-mall super megah, apartemen-apartemen yang menjulang tinggi dan hotel-hotel bintang lima nan gemerlap?

Negeri kita adalah lumbung beras, tapi terus mengimpor. Petani-petani yang dulu di masa buyut-buyut kita adalah orang-orang yang kaya, tapi sekarang jadi manusia yang tak berdaya di hadapan pemilik modal, yang tentu bukan orang “desa” tapi orang “kota” yang menurut mereka adalah londo-londo yang bule.

Banyak sarjana-sarjana negeri ini yang cerdas, intelek dan terampil kemudian hanya menjadi budak dan jongos pemilik modal. Mereka bekerja bukan untuk negeri mereka sendiri, tetapi untuk pemilik modal. Di sisi lain, sekolah-sekolah kita pun hanya memproduksi tenaga-tenaga terampil yang siap pakai dan bekerja untuk para pemilik modal. Ada sedikit pencerahan memang, yakni dengan munculnya banyak universitas-universitas atau lembaga-lembaga pendidikan dengan fokus pada pendidikan enterpreneurship  dan kewirausahaan, tapi itu, lagi-lagi bukan demi negeri tanah air tumpah darah mereka, tapi untuk diri mereka sendiri dan keluarga. Tak penting kesejahteraan rakyat dan kebodohan anak-anak bangsa di pelosok-pelosok pulau terpencil. Mereka diajarkan untuk hanya, seperti kata Sindhunata, berpikir tentang uang. Ya tentu, uang adalah segala-galanya, tetapi segala-galanya bukan uang.

Lalu, apa arti kemerdekaan pula di tengah lemah syahwatnya negara menghadapi kejahatan-kejahatan sistematis (terorisme). Terorisme bukan hanya ‘amaliyah isytisyhadiyah atau sucide bombing racikan Noordin M Top, tetapi, seperti kata Sujiwo Tejo, teror yang lebih dahsyat adalah teror-teror bom kemanusiaan yang selalu was-was dengan nasib kesejahteraannya. Sifatnya teror memang selalu membuat ketakutan dan rasa was-was. Karena bisa saja, teror dengan bom terjadi di mana-mana, di rumah, di tempat kerja, atau di jalalan. Begitu juga dengan teror yang lain, PHK, biaya sekolah anak-anak, harga bahan makan serta pekerjaan yang tidak pasti terus menghantui masyarakat. Mereka selalu ketakutan bagaimana nasib mereka besok pagi; apa bisa makan lagi? Apa anak-anak bisa sekolah? Apa besok masih bisa bekerja…

Kemerdekaan, kata Bung Karno ketika membacakan pledoinya di Bandung dengan judul “Indonesia Menggugat,” adalah “jembatan emas.” Artinya apa? Buat saya berarti kemerdekaan sekadar sarana untuk sampai pada sebuah tujuan yang lebih penting. Tetapi meski hanya jalan, peran dan fungsinya tidak remeh, maka disebut jembatan emas, tanpanya kita tak bisa lalui jalan untuk sampai ke seberang. Seniman sering mengatakan, “kreativitas tak muncul tanpa kemerdekaan diri” jadi untuk kreatif kemerdekaan atau kebebasan diri harus lebih dulu dimunculkan. Jembatan dan tujuan tak saling berdiri sendiri. Tidak ada tujuan, maka tak guna jembatan. Tapi siapa manusia yang tak punya tujuan hidup. Hidup merdeka bukan tujuan, tujuannya adalah sejahtera, tetapi juga bukan sejahtera yang hakiki tanpa kemerdekaan.

Saya masih terus berpikir apa arti kemerdekaan di tengah masa penuh teror……


*
Penulis adalah Alumni UIN Sunan Kalijaga
Sekarang sebagai Direktur Penerbit Pyramida Media Utama
dan Staff Peneliti Depag R

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JSIiysNe

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JNBpubYr

0 komentar:

Bookmark and Share