Sabtu, Januari 09, 2010

Mu'tazilah ; Implementasi Teori Ilmu Kalam


Independensi pemikiran pada pemerintahan 'Abasyiyah meletupkan api pergolakan bagi beberapa sekte yang mengatasnamakan dirinya bagian dari agama. Sekte yang selalu menarik untuk dibahas adalah Mu'tazilah. Namum belakangan, kontribusi mu'tazilah seakan dilupakan. Opini yang kemudian datang, sekte mu'tazilah kâfir, mulhid, mencoba menerobos dan memporak-porandakan ajaran salaf al-shâlih menuju prinsip yang lebih rasionalis. Opini tersebut tentu tidak sepenuhnya benar.[1] Secara umum - menurut Dr. Zuhdi jarullah - kita tidak akan bisa mengambil sikap obyektif terhadap sekte ini. Hal itu disebabkan literatur mu'tazilah telah banyak yang tidak berbekas hingga kini. Yang tersisa hanya pandangan-pandangan subyektif dari para penentang (mukhâlif). Sehingga opini yang bergulir selanjutnya semacam sikap antipati yang lahir dari subyektifitas.

Salah satu konribusi mu'tazilah dalam ranah intelektual islam adalah penggagas istilah ilm al-kalâm serta menawarkan stylenya yang baru. Mereka menjadikan konstruksi menjadi sistematis, metodologis serta kajian yang lebih rasional.[2] Bahsrah - menurut beberapa catatan sejarah - adalah tempat munculnya ilmu ini, hingga kemudian lebih dikenal dengan istilah madrasah al-bashrah. Bashrah bukan satu-satunya basis mu'tazilah, karena dibelahan dunia lain pun terbentuk madrasah Baghdad.[3] Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua madrasah tersebut ; masih dalam satu pembahasan, rumusan masalah serta kesamaan metodologi.

Ilmu Kalam ; Tinjauan Aspek Historis

Ilmu kalam lahir sebab polemik hebat antara sesama umat islam sendiri, ataupun antara umat islam dengan pemeluk agama lain. Beragam pendapat pun tak terhindarkan dalam meninjau awal mula khilâf - sebagai akar kuat terbentuknya ilmu kalam - dalam tubuh umat islam. Al-Qadli Abdul jabbar - mengutip riwayat dari gurunya ; Abu Hasyim al-Jubbai - memberikan gambaran bahwa awal mula terbentuknya ilmu kalam adalah karena pertikain seputar masalah Utsman bin Affan pada akhir hayatnya. Dilanjutkan tragedi perang jamal antara shahabat 'Ali bin Abi thalib dan 'Aisyah istri nabi SAW.

Puncak perselisihan terjadi pada masa Mu'awiyah bin Abi Sufyan yang mempopulerkan predestinasi kekuasaannya. Muncul juga gerakan murtad - yang sebenarnya sudah mulai muncul pada masa Abu Bakar - secara terang-terangan ; diawali oleh Walid bin Yazid. Pun muncul asumsi-asumsi mengakar yang menyiratkan bahwa Tuhan mampu membebani sesuatu diluar kapasitas manusia (taklîf allah li al-insân bimâ lâ thâqata bih), serta seabreg perselisihan-perselihan lain.

Musthafa 'Abdurraziq - dalam bukunya tamhîd li al-tarîkh al-falsafah al-islâmiyah - mengatakan pembahasan tentang keyakinan (i'tiqâd) dikatakan sebagai kalâm, karena dua alasan ; pertama, kalâm adalah antonim dari diam. Seorang dikatakan mutakallimîn karena berbicara tentang sesuatu yang seharusnya mereka diam. Kedua, karena kalâm hanya sekumpulan teori tanpa dibarengi perbuatan. Berbeda dengan fuqahâ yang mengkaji teori-praktis. Serta penggunaan istilah kalâm - menurutnya - sudah popular semenjak sebelum abad ke 2.[4]

Sedang Ibrahim al-fayyumi - dalam bukunya al-mu'tazilah ; takwîn al-'aql al-'arâbi - mengasumsikan jika memang benar istilah ilmu kalam muncul sebagaimana anggapan Musthafa 'Abdurraziq ; bahwa istilah ilmu kalam sudah populer sebelum kodifikasi, maka ini pandangan tak berdasar. Penafian Ibrahim al-Fayyumi, selain beliau tidak menemukan istilah ini pada literatur klasik ; buku-buku syafi'i (204H), juga istilah tersebut baru muncul setelah masa al-Jahidz (255H). sedang al-Jahidz hidup berbarengan dengan tragedi mihnah pada masa al-Makmun. Maka ia menarik benang merah, istilah tersebut muncul (kalâm) karena adanya tragedi mihnah. Dan orang-orang yang terlibat didalamnya dikatakakan mutakallimîn.[5]

Sehingga - ilmu kalam yang oleh Abu Hanifah diistilahkan juga dengan al-fiqh al-akbar - adalah kajian teoritis disertai dengan alasan logis guna meyakinkan prinsip-prinsip dasar agama serta menguak potensi destruktif yang nantinya merusak tatanan prinsip agama yang sudah mapan. Walaupun sejatinya termasuk upaya membentengi dari potensi destruktif dari luar (apologetic), namun sarjana muslim tidak menaruh kata sepakat perihal kebolehan mempelajari ilmu ini. sebut saja Ahmad bin Hanbal[6](w. 241H), diikuti generasi setelahnya Ibnu Abdil Barri (w. 463H)dalam Jâmi' bayân al-'ilm wa fadlihi, kemudian Abdullah al-Anshary al-Harawy (w. 481H) dalam dzamm al-kalâm, lalu Ibnu Qudamah (w. 620H) dalam tahrîm al-nadzar fi ilm al-kalâm. Kemudian muncul Abu al-Hasan al-Asy'ari yang menyanggah ulama hanâbilah dalam bukunya risâlah fi istihsân al-khaud fi ilm al-kalâm.[7]Karena mu'tazilah - dalam sejarahnya - melakukan zonasisasi kajian terbatas pada masalah ketuhanan, maka julukan mutakallimînpun disematkan pada mereka.

Mu'tazilah dan Ilmu Kalam

Sejak abad ke 2, mu'tazilah sudah menjadi dua bagian besar ; madrasah Baghdad dan Bashrah. Madrasah Bashrah diawali oleh Hasan Bashri, yang mempunyai murid Washil bin 'Atha' (w.131H) dan 'Amru bin Ubaid (w. 143H). Tersambung dari Washil bin Atha', sampai pada Abu al-Hasan al-Asyari ; murid Abu Hasyim al-Jubbai (w.321H) ; tingkatan ke 8. Sedang Amru bin Ubaid mempunyai murid Khalid bin Safhwan (w. 133H) ; tingakatan ke 5. Dari madrasah Baghdad muncul nama Bisyr bin al-Mu'tamir (210H) yang mempunyai murid Tsumamah bin al-Atsrast (234H), dan dari Tsumamah tersambung ke al-Khayyath (290H) dan sampai ke Abu al-Qasim al-Bulkhi (319H).[8]

Abid al-jabiri - dalam pengantar al-kasyf 'an manâhij al-adillah - mengatakan bahwa kodifikasi madzhab dalam sekte mu'tazilah di awal terbentuknya masih belum terlaksana. Sehingga teori-teori kalam mereka masih tercecer. Setelah muncul Abu Hudzail al-'Allaf (w. 235H)[9], kodifikasi madzhab mulai dilaksanakan. Artinya teori-teori ilmu kalam sekte ini baru disusun dengan sistematis pada masa Abu Hudzail al-'Allaf. Namun penyusunan madzhab oleh Abu Hudzail tidak menafikan teori-teori individu yang sudah dibukukan, seperti Washil bin Atha' yang menganggit kitâb al-tawhid, kitâb al-futyâ, atau 'Amru bin Ubaid yang menjawab sekte Qadariah dalam al-rad 'ala al-qadariyah.

Abu Hudzail mengambil madzhab itizâl dari Washil bin Atha' ; tingkatan ke 5. Buku-buku filsafat menjadi "makanan keseharianya", disebabkan, beliau hidup pada masa penerjemahan ('ashr al-tarjamah). Dari beliau dikenal istilah al-jawhar al-fard (atom), yang kelak, menjadi pondasi kuat bagi teori-teori mutakallimîn di masa setelahnya.[10]Al-jawhar al-fard oleh mutakallimîn diimplementasikan pada masalah pengetahuan allah terhadap partikular kehidupan ('ilm allah bi al-juziyyât). Disusul dengan hâdis ( berawal) nya alam.[11] Ketika alam hâdis, maka membutuhkan pada muhdis (pencipta), yang dalam hal ini adalah Allah. Jadi peran al-jawhar al-fard dalam ilmu kalam sangat signifikan karena mencakup pembahasan inti ilmu kalam, yaitu pembuktian adanya tuhan.

Jika dideskripsikan, maka implementasi al-jawhar al-fard (atom) sebagai berikut ; jika Allah mengetahui segala sesuatu, maka yang dinamakan "segala sesuatu" pasti terhitung ; ada ; wujud ; terbatas. Maka bagian-bagian dari alam harus bisa dihitung (qâbilan li al-'add) atau perwujudan dari sesuatu yang terbatas. Karena segala sesuatu selain allah adalah bentuk "kumpulan". Dan sesuatu yang terkelompok, pasti mempunyai bagian (ajzâ). Sehingga jika allah mengetahui segala sesuatu, maka ajzâ yang menjadi bagian dari "segala sesuatu" juga termasuk didalamnya. Demikian teori kehâdisan alam menurut mutakallimîn.[12]Lalu dimanakah peran al-jawhar al-fard dalam teori kehâdisan alam ?

Alam adalah segala sesuatu selain allah. Berawal (hâdis) atau tidak berawal (qadîm) nya alam, tergantung dari terbatas (mutanâhi) atau tidak terbatas (ghair al-mutanâhi) nya bagian yang melengkapi alam. Jika bagian yang melengkapi alam sampai pada batas tertentu (had mu'ayyan), maka batas paling akhir dari bagian tersebut itulah yang dinamakan al-jawhar al-fard (atom). Dengan kata lain al-jawhar al-fard adalah batas maksimal suatu pembagian. Disini para mutakallimîn sekaligus merobohkan argumen filsuf yang berasumsi alam itu qadîm (tak berawal). Mereka (mutakallimîn) mengatakan : jism (corpuscle) - yang dalam hal ini merupakan bagian dari alam- pada prakteknya ada keterpautan antara satu dengan yang lain. Karena secara kasat mata, misalnya, gajah berbeda dengan semut. Jika tidak terbatas (ghair al-mutanâhî) - sebagaimana asumsi para filsuf - maka tidak ada bedanya antara gajah dan semut. Padahal komponen yang tersusun dalam tubuh keduanya berbeda. Dan hal tersebut mustahil.[13]

Jika sudah terbukti bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) hâdis (berawal), maka sebuah keniscayaan membutuhkan pada muhdis (pencipta). Karena hâdistarjîh al-wujûd 'ala al-'adam. Dalam arti, "wujud"nya alam karena mengalahkan kemungkinan "tidak ada"('adam). Sehingga mengharuskan ada kekuatan dari luar yang menjadikan alam tersebut ada dengan mengalahkan kemungkinan "tidak ada". Sebagaimana seorang penulis bisa menjadikan ada dan tidak adanya sebuah tulisan. Adanya keinginan (menjadikan atau tidaknya sesuatu) tersebut itulah yang dalam istilah ilmu kalâm dinamakan al-irâdah.[14]

Kemudian teori tersebut diadopsi oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari sampai terbentuk sekte asy'ariyah. Diteruskan oleh Ibnu Mujahid, kemudian al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani. Dari al-Qadli, dilanjutkan oleh Abu al-Ma'ali al-Juwainy (imam al-haramain) dalam al-syâmil fi ushûl al-din-nya. Imam al-Haramain mempunyai murid Abu Hamid al-Ghazali, penghancur filsafat dengan tahâfut al-falâsifahnya.


Epilog

Dari kenyataan diatas, penulis menghendaki adanya pandangan yang lebih obyektif. Dan wacana ini tidak lain bentuk apresiasi guna mengenang kontribusi mu'tazilah dalam dunia islam pada umumnya. Wallahu a'lam.

Referensi :

[1] Dr. Zuhdi Jarullah , al-Mu'tazilah, al-ahliyah li al-nasyr wa al-tawzi' : Cairo, cet. 1, 1974, pada Muqaddimah ; al-Madkhal,
[2] Dr. Ibrahim al-Fayyumi, al-Mu'tazilah takwîn al-'aql al-'arâbî, Dar al-fikr al-Arabi : Kairo, cet.1, 2002, hal. 72
[3] Untuk melihat lebih lanjut perkembangan madrasah mu'tazilah di Bashrah, bisa dirujuk di makalah penulis yang bertajuk Hasan Bashri ; Sebuah Analisis ideologi.
[4] Dr. Musthafa 'Abdurraziq, tamhîd li al-târikh al-falsafah al-islâmiyah, al-haiah al-mishriyah al-'amah li al-kitab : Kairo, 2007, Hal.272-274
[5] Ibrahim al-Fayyumi, al-mu'tazilah ; takwîn al-'aql al-'arâbî, op.cit., Hal. 82
[6] Sikap yang menunjukkan antipati Ahmad bin Hanbal bisa ditilik dalam salah satu perkataanya : lastu anâ shâhiba kalâmin wa innamâ madzhabî al-hadîts
[7] Lihat Abdurrahman Badawi, madzâhib al-islâmiyyîn ; al-mu'tazilah wa al-asyâ'irah, dar al-'ilm al-malâyiin : Beirut, 1997, hal. 15
[8] Ibid., hal.,44
[9] Abu al-Walid Ibnu Rusyd, al-kasyf 'an manâhij al-adillah, markaz dirasat al-wahdah al'arabiyyah : Beirut, cet.1, pengantar M. Abid al-Jabiri, hal. 20
[10]Ibid., hal. 20
[11]Al-hâdis dalam al-mu'jam al-falsafî adalah mâ kâna masbûqan bi al-'adam ; segala sesuatu yang diawali dengan tidak ada. Sedang yang dinamakan al-âlam adalah kullu mâ siwâllâh ; semua selain allah.
[12]M. Abid al-jabiri, pada pengantar al-kasyf 'an manâhij al-adillah, op.cit., hal.22
[13]Ibid., hal.23
[14]Ibid., hal.24
disini



Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JSIiysNe

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JNBpubYr

0 komentar:

Bookmark and Share