Sabtu, Januari 09, 2010

Sejarah Ilmu Kalam dan Pemahaman Qada dan Qadar



Rasulullah SAW. diutus oleh Allah SWT. untuk menyampaikan Islam kepada seluruh ummat manusia agar dijadikan sebagai aqidah dan pedoman hidup mereka dan memusnahkan aqidah dan pedoman hidup mereka sebelumnya yang penuh khayal dan khurafat, mereka diajak untuk berfikir dan merenungi realitas kehidupan, manusia dan alam semesta serta mengkaitkan ketiganya dengan Allah al Khalik al Mudabbir Sang Pencipta dan Sang Pengatur. Merekapun mengambil Islamsebagai aqidahyang mampu memecahkan permasalahan utama(al-uqdatul kubra) mereka sebagai manusia, yang diatasnya dibangun pandangan hidup, juga mengambilnya sebagai peraturan yang terpancar dari aqidah Islam.


Dengan izin Allah, agama yang dibawa oleh rasulullah pun diemban oleh banyak manusia sebagai qaidah fikriyah dan oleh Daulah Islamiyah sebagai qiyadah fikriyah. Sesuai dengan fitrahnya sebagai agama yang benar, tentunya agama ini terus bergerak dan diemban oleh daulah dan kaum muslimin untuk di da’wahkan kepada umat dan bangsa lain yang belum menemukan cahaya kebenaran Islam serta yang masih bergelut dengan khayalan dan khurafat dari pedoman hidup mereka terdahulu. Sunnah ini terus dilanjutkan para khalifah sesudah rasulullah wafat.


Kaum muslimin yang melakukan ekspansi da’wah dan futuhat di negeri-negeri yang belum menerima cahaya Islam, menemukan pemikiran asing yang diemban oleh orang-orang yang berada di negeri tersebut, yang hal itu sangat bertolak belakang dengan pemikiran Islam, hal ini terjadi pada awal abad kedua hijriyah.Negeri-negeri tersebut adalah India, Persia dan Yunani.Kaum muslimin kemudian berupaya untuk memahami konsep pemikiran mereka yang berbeda tersebut dengan maksud untuk menjelaskan kesalahan pemikiran mereka dan kemudian mengajak mereka untuk masuk ke dalam agama yang mulia ini.Pemikiran mereka yang asing inilah yang disebut dengan filsafat[1], yang kemudian dipelajari oleh ulama Islam dengan maksud membekali diri dengan ilmu tersebut untuk membantah dengan ilmu tersebut.Ilmu ini disebut dengan ilmu kalam, dan ulama yang mempelajarinya disebut dengan ulama mutakalimin.


Aktifitas ini sendiri telah dilakukan oleh rasulullah semasa hayat beliau terhadap orang-orang kafirbaik dari kalangan kaum musyrikin maupun ahlul kitab, sehingga terjadi shiraul fikr, baik selama beliau berada di Madinah manupun di Makkah, hal ini dikuatkan dengan perintah untuk berdebat dengan mereka di dalam al Qur’an: “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (TQS. An-Nahl [16]:125); “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang paling baik.” (TQS. al-Ankabut [29]: 46).


Hal yang paling berperan dalam pemunculan ilmu kalam adalah interaksi kaum muslimin dengan filsafat Yunani baik melalui penterjemahan buku-buku filsafat Yunani maupun karena interaksi mereka dengan kaum Nasrani dan Yahudi,pemikiran filsafat ini diadopsi oleh kaum Nasrani (Nasrani sekte Nestorian atau Nasathirah[2] dari Syiria, Nasrani sekte Mulkean[3] yang tersebar di Afrika, Andalusia, dan sebagian besar wilayah Syam dan Nasrani sekte Jacobit dari Mesir) dan Yahudi.Filsafat Yunani yang diadopsi oleh kaum Nasrani dibangun untuk menguatkan aqidah trinitas mereka, yang hal itu memang sama sekali tidak memiliki kesesuaian dengan fakta yang ada.Berbeda dengan filsafat yang dianut oleh bangsa Persia dan India, dimana filsafat yang mereka bangun tersebut inheren dengan konsep agama yang mereka anut saat itu.Kaum Nasrani mengenal filsafat Yunani telah lebih dahulu ketimbang kaum muslimin yang kemudian digunakan untuk membangun konsep aqidah trinitas (tatslith) mereka.Konsep ini yang kemudian mereka gunakan untuk untuk berdebat dengan kaum muslimin.Sebagian kaum muslimin dengan para ulamanya merespon kondisi ini dengan mempelajari dan menjadikannya sebagai bahan diskusi dan perdebatan dalam rangka membantah kaum Nasrani dan Yahudi, membela Islam dan menerangkan pemikiran-pemikiran al-Quran[4].Kaum muslimin mengambil konsep filsafat Yunani sebagai pokok bahasan terutama dalam konsep ketuhanan (sifat-sifat Allah) dan mantiq (logika).


Para mutakallimin memiliki metode khusus dalam pembahasan, pengambilan keputusan dan penetapan dalil terhadap suatu masalah, yang berbeda dengan metode al-Quran, hadist, maupun perkataansahabat.Juga berbeda dengan metode para filsuf Yunani. Para mutakalimmin tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, juga beriman dengan apa yang dibawa oleh rasul-Nya, dengan asas inlah mereka berargumentasi dengan dalil-dalil yang bersifat mantiqi serta memberikan akal kebebasan untuk membahas segala sesuatu.Kondisi ini yang menyebabkan ilmu kalam menjadi ilmu tersendiri di dalam khazanah peradaban Islam dan kemudian berkembang di negeri-negeri kaum muslimin.Hal ini terjadi pada akhir abad pertama hijriyah dan awal abad kedua hijriyah.


Munculnya Mu’tazilah


Pada saat inilah kemudian pemahaman mu’tazilah[5] muncul, dengan ulama Islam yang membawanya pertama kali adalah Ma’bad al-Juhani (w. 80 H/701 M) dengan konsep La Qadar (tidak ada taqdir).Kemunculan ide ini disebabkan oleh dua faktor, pertama adalah karena kedzaliman penguasa (khalifah) Ummayah saat itu, terhadap kaum muslimin di Basrah, Irak dan mengatakan bahwa itu semua merupakan taqdir Allah yang menimpa mereka,hal ini kemudian dibantah oleh Ma’bad dengan mengatakan bahwa nasib baik dan nasib buruk yang menimpa manusia adalah karena mereka sendiri, bukan karena taqdir.Yang kedua adalah pengadopsian filsafat Nasrani sekte Nestorian asal Syiria yang mendirikan sekolah filsafat di Gundisapur yang memang berdekatan dengan Bashrah melalui perdebatan.Nasrani sekte Nestorian sendiri mengadopsi konsep Filsafat Yunani aliran Epikureanisme[6] (Abiquriyyun) dengan konsepnya yang menyatakan: ”Whereas our own actions are autonomous, and it is to them that praise and blame naturally attach (dikarenakan perbuatan-perbuatan kita adalah bebas, dan kepada merekalah (perbuatan-perbuatan tersebut) dilekatkan pujian dan celaan),”. Pengadopsian filsafat ini dilakukan sebatas memanfaatkan apa yang boleh dimanfaatkan sebagai media pengargumentasian dalam rangka mempertahankan Islam (intifa’).


Ma’bad al-Juhani kemudian diperintahkan untuk dibunuh oleh Khalifah ke-5 Bani Ummayah yaitu Abdul malik bin Marwan (berkuasa dari tahun 71-84 H/692-705 M).Ide yang dibawa olehnya terus berkembang di Bashrah dan tahun 100 H/721 M menjadi opini publik penduduk Bashrah.Ide ini dikembangkan oleh Ghaylan al-Dimasyqi (w. ± 126 H/743 M) dan muridnya yang paling menonjol seorang ahli hadist syam yang cukup populer di Syam yaitu, Makhul bin ‘Abdullah al-Dimasyqi (w. 116 H/737 M).


Wasil bin ‘Ata’(nama keluarganya Abu Hudhyfah) (w. ± 131 H/752 M) lahir di Madinah tahun 81 H/702 H. meneruskan konsep ini, konsepnya yang terkenal yaitu Hurriyatul al Iradah (bebas berkehendak, freewill).Ia mendapatkan konsep ini dari Abdullah bin Muhammad bi al Hanafiyyah ketika masih di Madinah, dan semakin matang ketika ia telah berada di Bashrah, di kota ini ia menulis kitab-kitab yang kemudian menjadi pegangan bagi para pengikutnya yang karenanya ia dianggap oleh pengkaji pemikiran Islam seperti al-Nasysyar dan Majid Fakhry sebagai pendiri mazhab Mu’tazilah.Hal ini berbeda dengan para pendahulunya yang memang tidak meninggalkan kitab untuk menjadi pegangan bagi pengikutnya.Diantara kitabnya adalah: al-Khatab fi al-Adl wa al-Tawhid, al-Manzilah baina al-Manzilatayn, Asnaf al-Murji’ah, al-Sabil al-Ma’rifah al-Haqq dan lainnya.


Tokoh lain mazhab ini adalah ‘Amr bin ‘Ubayd (w. 151 H/759 M).Lahir tahun 80 H/701 M, keturunan Persia.Ia sahabat karib sekaligus murid Wasil.Kitab yang telah Ia tulis diantaranya adalah kitab al-Adl wa al-Tauhid, al-Radd ‘Ala al-Qadariyyah, dan al-Tafsir ‘An al-Hasan. Tokoh lain yang terkenal dari mazhab ini adalah Abu Hudhayl al-Allaf dengan muridnya Basyar bin al-Mu’tamir (terkenal dengan konsep tawallud-nya) (134-226 H/755-847 M) tinggal di Bashrah, dan Abu ‘Ali al-Jubba’i (w. 303 H/924 M) juga tinggal di Bashrah.


Mazhab ini dikenal juga dengan sebutan Qadariyyah, yang arti sebenarnya adalah menjelaskan tentang kaum yang menjadikan masalah qadar sebagai isu aqidah, sehingga qadariyyah juga mencakup mazhab Jabariyyah atau Jahmiyyah, namun sebutan ini lebih dinisbatkan kepada mazhab Mu’tazilah.Secara umum mazhab ini berkembang sejak zaman khalifah al-Mansur sampai khalifah al-Watsiq dari bani Ummayyah, yaitu antara tahun 146-239 H/754-847 M. Setelah Khalifah al-Watsiq digantikan oleh Khalifah al-Mutawakkil (239-253 H/847-862 M), kebijakan pemerintah lebih mendukung as-Sunnah dan para pembelanya.


Munculnya Jabariyyah


Untuk meng-counter konsep pemikiran Mu’tazilah, muncul figur Jahm bin Safwan (w. 128 H/749 M).Ia lahir di kota Samarkand, Khurasan pada akhir abad pertama hijriyah dengan nama keluarga Abu Muhriz yang kemudian tinggal di kota Tirmidh.Para pengkaji pemikiran Islam seperti Abu Zahrah dan al-Qasimi sepakat menyatakannya sebagai pendiri mazhab Jabariyyah.


Ide Jabariyyah (fatalisme) sesungguhnya juga berasal dari filsafat Yunani yang didirikan oleh Zeno (336-264 SM) dari Citium pada tahun 305 SM yang kemudian dikembangkan oleh para pengikutnya yang disebut dengan Stoisis[7] (Stoisisme atau Rawwaqiyyun).Konsep ini terlihat dari pandangan Zeno yang disebut dengan teori ‘Ruang Kosong’ yang disitir Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Physics: “Everything that is in motion must be moved by something (segala sesuatu yang bergerak, pasti digerakkan oleh sesuatu)”.Artinya, Zeno menyatakan bahwa tidak ada gerakan atau motion secara mutlak yang terjadi dengan sendirinya.


Ide ini kemudian diadopsi oleh Bangsa Persia, kaum Yahudi Syam, Aliran agama Manikeisme dan Zoroaster. Konsep kemudian menjadi pembahasan di kalangan kaum Muslimin setelah futuhat-futuhat dilakukan di negeri-negeri ini dan seperti yang telah disampaikan di atas, masuk semakin dalam melalui penterjemahan buku-buku filsafat Yunani. Konsep ini dikaji oleh Iban bin Sam’an dari seorang Yahudi Syam, yang kemudian disampaikan kepada al-Ja’d bin Dirham yang tak lain adalah guru dari Jahm bin Safwan di Kuffah.Diyakini pula bahwa Jahm mendapatkan konsep ini setelah berinteraksi dengan orang-orang Persia.Namun satu hal, bahwa pengadopsian konsep ini hanyalah dalam bentuk intifa’ (kulit) saja dan bukan ta’aththur[8].


Jabariyyah secara harfiyah berasal dari lafaz al-Jabr, yang berarti paksaan.Lafaz ini merupakan antonim dari lafaz al-Qadr yang berarti kemampuan.Secara terminologis, berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah swt.Jabariyyah menurut mutakallimin adalah sebutan untuk mazhab kalam yang menafikan perbuatan manusia secara hakiki, dan menisbatkannya kepada Allas swt. semata.


Munculnya Ahlussunnah


Makna asal dari Ahlussunnah adalah orang-orang yang mengikuti metode al-Qur’an dan al-Sunnah.Secara terminologis, ini merupakan predikat yang diberikan kepada mazhab Asy’ariyyah yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (270-324 H/878-932 M).


Beliau lahir di Basrah dan wafat di Baghdad. Menjadi terkenal setelah meng-counter pandangan-pandangan gurunya, Abu ‘Ali al-Jubba’i salah seorang tokoh Mu’tazilah Bashrah, namun ia tidak hanya meng-counter pandangan gurunya yang bermazhab Mu’tazilah, tapi juga meng-counter pandangan Jabariyyah, yang semuanya terangkum di dalam buku kecilnya al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah.Di Samarkand (Uzbekistan) juga muncul Abu Mansur al-Maturidi (w. 336 H/944 M) yang kemudian dianggap sebagai salah satu tokoh Ahlussunah.Demikian juga di Mesir, Abu Ja’far al-Tahawi (w. 313 H/921 M).Dari mereka inilah mazhab Maturidiyyah dan Tahawiyyah dinisbatkan.


Seperti yang terjadi sebelumnya, bahwa kelahiran dari mazhab ini adalah karena dilatarbelakangi oleh polemik yang terjadi antara Mu’tazilah dan Jabariyyah dalam masalah aqidah dan penjabaran terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang bersifat mutasyabihat, termasuk dalam hal ini masalah qada dan qadar, dan berusaha menjelaskan dan meluruskan pendapat dari dua mazhab ini yang dianggap telah melenceng dari garis yang telah ditentukan oleh agama Islam.Walaupun mereka (para pendiri mazhab ini) menganggap bahwa mazhab ini mengikuti metode al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan menyatakan mengikuti Ahmad bin al-Hanbal (w. 235 H/856 M) namun dalam kenyataannya mereka juga menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai oleh para mutakallimin sebelumnya, bahkan kemudian ulama-ulama setelahnya (al-Iji dan Ibn Hazm wafat 456 H/1064 M) menyebutkan bahwa mazhab ini pada hakikatnya adalah Jabariyyah juga dengan perbedaan pada konsep kasb-nya saja


Perbedaan dalam Memahami Konsep Qadla dan Qadar diantara Mazhab


Penyebutan Qadla dan Qadar dalam pembahasan para mutakallimin berkaitan dengan permasalahan yang muncul ketika filsafat dari Yunani masuk ke dalam tubuh kaum muslimin yang kemudian mereka ikut masuk ke dalamnya dan ikut membahasnya demi menjelaskan konsep Islam terhadap permasalahan tersebut.Istilah ini disebut juga dengan jabr dan ikhtiar atau hurriyatul iradah.Intinya adalah ‘apakah perbuatan manusia itu bebas dari segi mewujudkannya ataupun tidak mewujudkannya, ataukah manusia itu dipaksa’. Setelah itu pembahasan berkembang kepada pembahasan ‘keadilan Allah’[9], dan masalah yang timbul dari perbuatan manusia apakah hal tersebut diciptakan oleh manusia ataukah tidak (konsep tawallud).


Mu’tazilah mengatakan bahwa Qada dan qadar adalah tentang keinginan (iradah) perbuatan seorang hamba dan apa yang timbul pada sesuatu berupa khasiat hasil perbuatan manusia, seorang hamba bebas berkehendak dalam seluruh perbuatannya, dan si hambalah yang menciptakan perbuatannya serta menciptakan khasiat yang terdapat pada sesuatu yang berasal dari perbuatannya.Kemudian mereka menguatkan pendapat mereka dengan ayat-ayat Qur’an, diantaranya, QS. Al-Mukmin [40]: 31; QS. al-An’aam [6]: 148; QS. al Baqarah [2]: 185; QS. az Zumar [39]: 7; dan menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan pendapat mereka seperti misalnya, QS. al-Baqarah [2]: 6; QS. al-Baqarah [2]: 7 dan QS. An-Nisa [4]: 155.


Jabariyyah mengatakan bahwa manusia dipaksa (untuk melakukan suatu perbuatan).Manusia tidak mempunyai kehendak (iradah) dan tidak mampu menciptakan perbuatannya.Mereka mengatakan bahwa apabila kita katakan bahwa seorang hamba menciptakan segala perbuatanya, itu berarti pembatasan terhadap kekuasaan Allah dan itu berarti pula (kekuasaan Allah) tidak mencakup segala sesuatu.Seorang hamba (dalam hal ini) adalah mitra (syarik) bagi Allah dalam menciptakan apa yang ada di alam ini.Mereka menambahkan apabila kekuasaan Allah yang menciptakannya maka manusia tidak ada urusan di dalamnya.Oleh karena itu Allahlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan hamba dan dengan kehendaknya pulalah seorang hamba melakukan perbuatannya, perbuatan hamba berada dibawah kekuasaan Allah saja, dan kekuasaan hamba tidak memiliki pengaruh didalamnya.


Manusia dalam hal ini tidak lain hanyalah objek terhadap sesuatu yang Allah jalankan atas tangan-Nya.Manusia itu dipaksa secara mutlak.Manusia dan benda mati itu sama saja, tidak berbeda kecuali penampakannya. Ayat-ayat yang mereka ambil diantaranya QS. Al-Anfal [8]: 17; QS. Al-Qashash [28]: 56; QS. At-Takwir [81]: 29; QS. Az-Zumar [39]: 62.Kemudian menta’wilkan ayat-ayat yang menunjukan keinginan (iradah) seorang hamba dan penciptaannya terhadap perbuatan-perbuatannya agar sesuai dengan apa yang mereka konsepkan.


Mazhab Ahlussunnah kemudian berusaha menjelaskan dengan mengatakan perbuatan hamba seluruhnya berdasarkan iradah dan masyi-ah Allah (keinginan dan kehendak-Nya). Seluruh perbuatan hamba terkait dengan segala ketetapan-Nya.Yang dimaksud dengan qada ialah al-maqdi (yang ditetapkan/dipenuhi), maksudnya adalah peng-generalisir-an terhadap keinginan dan kekuasaan Allah.Konsep yang paling menarik dari mazhab ini adalah teori Kasb Ikhtiari, mereka mengatakan hamba memiliki perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiariyah.Diberi pahala jika perbuatan mengandung ketaatandan diberi sanksi jika perbuatannya mengandung maksiat. Allah adalah pencipta segala sesuatu sedangkan hamba adalah orang yang mengerjakan (kasb).Penciptaan Allah terhadap perbuatansebagai reaksi dari kasb adalah khalqun (penciptaan).Jadi perbuatan dikuasai oleh Allah swt. dari sisi penciptaan dan dikuasai oleh hamba dari sisi pelaksanaan.


Dengan kata lain Allah melakukan (hal yang lazim yaitu) menciptakan perbuatan ketika hamba mampu (qudrah) dan berkeinginan (iradah), bukan karena kekuasaan hamba dan iradahnya.Penggabungan ini yang disebut kasb.Ayat-ayat Allah yang mereka sitir diantaranya, QS. As-Sajdah [32]: 17; QS. Al-Kahfi [18]: 29 dan QS. Al-Baqarah [2]: 286.


Lebih jauh lagi para mutakallimin berusaha menerapkan lafadz –lafadz bahasa dan syara’terhadap konsep qada dan qadar, sehingga ada yang mengatakan bahwa qada adalah menghukumi secara keseluruhan dalam perkara yang bersifat kulliyat (perkara yang menyeluruh) saja, sedangkan qadar adalah menghukumi secara terperinci dalam perkara juziyyat (hal yang merupakan cabang) dan perinciannya.Sebagian lagi mengatakan qadar adalah adalah rancangan, sedangkan qada adalah pelaksanaan.Sebagian lagi mengatakan bahwa qadar adalah taqdir (perkiraan) sedangkan qada adalah penciptaan.Adapula yang kemudian menggabungkan pengertian dari konsep ini.


Kesimpulan


Dari uraian yang telah dilakukan di atas, kesalahan yang telah dilakukan oleh para mutakalimin diantaranya adalah, pertama, dalam berargumentasi, metode ini bersandar kepada asas mantiq atau logika bukan bersandar pada hal yang bersifat indrawi.Yang kedua adalah mereka membahas berbagai perkara diluar dari fakta yang dapat diindra melampaui kepada batas perkara yang tidak dapat diindra.Ketiga, mutakallimin telah memberikan kepada akal kebebasan untuk membahas segala sesuatu, baik perkara yang dapat diindra maupun perkara yang tidak dapat diindra.Keempat, metode mutakallimin telah menjadikan akal sebagai asasuntuk membahas persoalan apapun tentang keimanan, mereka akhirnya menjadikan akal sebagai asas bagi al-Qur’an, dan bukan sebaliknya, menjadikan al-Qur’an sebagai asas bagi akal. Terakhir, para mutakallimin menjadikan pertentangan para filsuf sebagai asas dalam pertentangan mereka, mereka terjebak dengan menjadikan aqidah sebagai topik pembahasan yang bersifat teori dan polemik dan tidak lagi menjadikannya sebagai sebagai topik da’wah dan landasan dalam memahami Islam dan mereka tidak berhenti pada batas-batas yang telah ditetapkan.


Metode mereka ini bertentangan dengan metode al-Qur’an, karena al-Qur’an hanya membahas tentang alam semesta, mengenai benda-benda yang ada, tentang bumi, matahari, bulan, bintang, binatang, manusia, segala makhluk melata, unta, gunung dan lainnya yang termasuk perkara yang dapat diindra.Dari situ mampu menjadikan seseorang sadar tentang adanya pencipta segala yang ada yang diperoleh melalui pengindraannya terhadap segala sesuatu yang ada. Tatkala membahas sesuatu yang ada dibalik alam semesta, maka al-Qur’an mensifatinya sebagai fakta dan menetapkannya sebagai suatu fenomena seraya memerintahkan mengimaninya dengan perintah yang pasti.Dan al-Qur’an tidak memerintahkan hamba untuk memikirkannya lebih jauh.Inilah metode yang difahami oleh para sahabat.Wallahu a’lamu bishawab.Ç


Maraji’:


An Nabhani, Taqiyuddin, 2003. Syakhsiyah Islamiyah juz 1 (Kepribadian Islam). Pustaka Tariqul Izzah, Bogor


An Nabhani, Taqiyuddin, 2001. Peraturan Hidup dalam Islam. Pustaka Tariqul Izzah. Bogor


Kattsof, Lois O. 1992. Pengantar Filsafat.Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta


Wahid, Muhammad Maghfur, 2003. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran kalam dan Filsafat Islam. Al Izzah. Bangil.


[1] Begitu banyak definisi yang dibuat untuk menjelaskan maknanya, namun jika merujuk kepada kamus filsafat, maka filsafat berarti 1. upaya spekulatif untuk menampilkan pandangan sistematik dan komplit tentang seluruh realitas. 2. upaya untuk mendeskripsikan hakikat realitas yang ultima dan sejati. 3. upaya untuk menentukan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan kita, sumber, sifat, keabsahannya, dan nilainya. 4. penyelidikan kritis atas praduga-praduga dan klaim-klaim yang dibuat olehberbagai bidangpengetahuan. 5.disiplin yang berusaha untuk membantu anda melihat apa yang anda katakana, dan mengatakan apa yang anda lihat.


[2] Sekte Nasrani pengikut Nestor yang bijaksana.Tetapi dalam komentarnya, Ahmad Fahmi, editor al mihal wa al-Nihal, menyatakan bahwa ada pendapat yang menyebut tentang penisbatan nama Nestorian kepada Nestorius, pendeta di Constatinople, yang menyatakan bahwa Maryamtidak melahirkan tuhan, tetapi melahirkan manusia, hanya kehendaknya sama dengan Tuhan, sedangkan Zatnya berbeda.Sekte ini berada di Persia, Irak, Jazirah Arab, Moshul hingga sungai Furat.


[3] Sekte Nasrani yang lahir di Romawi.Mereka berpendapat bahwa kalam telah menyatu dengan tubuh al-Masih.Mereka berpendapat bahwa substansi tidak sama dengan oknum, yang mirip dengan sifat dengan objek yang disifati.Al-Masihadalah Tuhan dan manusia secara utuh, dimana oknum yang satu dengan lain tidak berbeda.Jadi maryam telah melahirkan Tuhan dan manusiayuang keduanya adalah anak Allah, yang disalib ketika disalib adalah oknum manusianya sedangkan oknum Tuhannya tidak.


[4] Diantaranya adalah usaha membantah konsep ketuhanan Nasrani yang mengatakan al-Masih adalah tuhan, sedangkan dalam pandangan Islam al-Masih adalah kalimatu-Llah.Dalam hal ini Yuhana al-Dimasyqi berusaha membuat sintesis dari pertentangan ini untuk menjustifikasi konsepsi teologisnya, dengan mengatakan bahwa jika al-Masih adalah kalimatu-Llah, dan kalimatu-Llah adalah qadim, maka al-Masih adalah Tuhan.Dalam konteks inilah muncul bantahan dari kalangan ulama (Ja’ad bin al-Dirham, Jahm bin Safwan dan Wasil bin ‘Ata’) yang mengatakan bahwa kalam Allah adalah baru dan makhluk.


[5] Ada dua versi mengenai penyebutan nama Mu’tazilah, yang pertama adalah sebutan itu diberikan oleh pengikut Hasan al-Basri kepada Wasil.Sedangkan yang kedua adalah sebutan Qatadah (w. 117 H/738 M) ulama setelah Hasan al-Basri untuk ‘Amr bin ‘Ubayd dan pengikutnya.Kata Mu’tazilah sendiri berasal dari kata I’tizal yang berarti melepaskan diri dari kebatilan.


[6] Epikurean adalah aliran filsafat yang disandarkan pada nama penggagasnya, yaitu Epicurus (341-270 SM).Epicurus adalah penganut aliran Naturalisme, yaitu aliran yang membahas tentang alam, dengan tokoh yang terkenal adalah democritus.Epicurus juga disebut-sebut sebagai pengasas aliran Hedonisme, yaitu aliran filsafat yang mengajarkan tentang kebahagian dan cara memperolehnya, antara lain dengan pembebasan manusia dari perasaan takut dan sakit.


[7] Bahasa Yunani, Stoa, yaitu nama gedung yang digunakan untuk mengajarkan filsafat ini.


[8]Bentuk pengaruh peradaban kepada orang atau bangsa tertentu tidak terbatas pada aspek kulitnya, melainkan telah meliputi substansinya, kemudian peradaban tadi dicoba untuk dikompromikan dengan peradaban orang tersebut.


[9]Mazhab Mu’tazilah mengatakan bahwa hal tersebut mensucikan Allah dari perbuatan dzalim, mereka mengatakan bahwa keadilan Allah tidak bermakna kecuali dengan mengatakan bahwa manusia itu bebas berkehendak, sehingga hamba menjadi hak untuk dihukumi sesuai dengan perbuatannya.Dari pernyataan inilah timbul pembahasan dari para mutakallimin yang berusaha membantah pandangan ini.

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JSIiysNe

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JNBpubYr

0 komentar:

Bookmark and Share