Jumat, Januari 08, 2010

Seni Grafis: Kembali ke Sejarah serta Konvensi
 
Setelah penyelenggaraan Triennale Seni Grafis Indonesia I (2003) dan II (2006), satu hal mendesak untuk dimunculkan kembali sebagai wacana adalah bagaimana memahami konteks perkembangan perjalanan seni grafis Indonesia.
Ditinjau dari wilayah praktik, perkembangannya membuahkan pemahaman baru bahwa memang tengah terjadi perubahan di wilayah teknik cetak-mencetak. Hal ini dikaitkan dengan infiltrasi teknologi cetak. Komputer dan pelbagai tipe printer diandaikan telah menggantikan fungsi pelat dan kerja manual.
Tak jarang muncul polemik. Pertama, apakah teknik mutakhir itu masih bisa dikategorikan sebagai ”seni grafis”? Kedua, bila ya, apa perlu memasukkan perangkat teknologi baru itu sebagai salah satu komponen sah dari empat konvensi seni grafis?
Pasca-Triennale II (yang berhasil mengungkap persoalan itu), kita sesungguhnya belum menukik ke arah perdebatan komprehensif yang bisa memberi pemahaman serta keyakinan bersama. Pemahaman mengenai sejarah seni grafis tak kalah penting.
Dibandingkan dengan negara- negara Eropa dan sejumlah negara Asia, seperti Jepang, yang memiliki akar budaya kuat dalam urusan cetak-mencetak serta terus menegaskan independensi sejarah seni grafis mereka dari idiom seni lain, nasib seni grafis kita masih terselip di dalam seni lain. Sejarah seni grafis kita lebih tepat disebut sebagai wacana sisipan (attachment discourses) dari sejarah seni lukis modern.
Di Indonesia, seni grafis lahir dari kebutuhan propaganda gerakan politik seusai kemerdekaan, khususnya pada dasawarsa 1940-an sampai 1950-an. Sebutlah itu eksplorasi Affandi, Abdul Salam, Suromo, Baharuddin Marasutan, dan Mochtar Apin dalam teknik cukilan kayu. Kendati demikian, seni grafis belum dipahami sebagai media seni otonom, tetapi dipandang sebagai ”perluasan kerja artistik para pelukis”.
Pada tahun 1950-an, cukilan kayu umumnya mengiringi teks- teks puisi atau prosa. Buku Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi (Balai Pustaka Jakarta, 1959) menunjukkan fenomena tersebut. Seperti halnya litografi yang dikerjakan Manet untuk menghias sajak Edgar Allan Poe pada 1875, dalam buku itu Mochtar Apin menyandingkan karya-karya cukilan kayunya melengkapi puisi atau sajak.
Tahun 1600-1920 kita mengenal seni grafis melalui buku perjalanan bangsa asing di Indonesia. Misalnya, dalam versi buku asli Thomas S Raffles, History of Java, maupun catatan berupa gambar yang dikerjakan dengan teknik litografi, seperti karya orang Belanda, JH Hoffmeister, PWM Trap, atau A Saagmans Mulder.
Tak ditemukan jawaban memuaskan dari para sejarawan seni mengapa seni rupa modern kita seolah tidak melirik seni grafis sebagai praktik seni. Problematika seni dalam tulisan-tulisan S Sudjojono sejak akhir tahun 1940-an hanyalah (melulu) seputar seni lukis.
Kesadaran untuk tidak mengutamakan seni lukis baru muncul pada 1950-an. Dalam artikel Kedudukan Seni Rupa Kita (bundel Almanak Seni 1957 Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional), kritikus seni Trisno Sumardjo menulis agar kreativitas dan perjuangan seni rupa tidak terbatas pada kain kanvas. Dia menyebutkan, antara lain, kita harus membangkitkan karya cukilan kayu, etsa, ex-libris, fresko, patung, relief, monumen, keramik, arsitektur, atau tata kota.
Sementara itu, Rivai Apin mencatat peristiwa pemisahan seni grafis dari statusnya sebagai seni propaganda dalam tulisan Suatu Cabang Lagi Dipenuhi (1948). Ia menyatakan, itu bukan propaganda, tetapi menyorongkan kenyataan. Seni grafis sebagai pengertian yang juga merefleksikan peneguhan terhadap individu pada detik itu dipisahkan dari pengertian sebelumnya yang cenderung ”anonim”—sebagai konsekuensinya dijadikan alat propaganda.
Tak banyak orang memiliki kesadaran semacam itu, tidak juga sejarah itu sendiri. Layaklah kalau kita menghargai segelintir nama, seperti Suromo yang berperan menyambung pengertian itu ke masa sesudahnya.
Pasang surut perkembangan seni grafis pada beberapa dekade selanjutnya tak terlepas dari ruang dan kesempatan dan juga pada soal mempertahankan pengertian yang telah disepakati. Sudah banyak usaha dilakukan, baik pameran, seminar, maupun tentu saja penyelenggaraan seni grafis di pendidikan tinggi seni rupa. Tetap saja perkembangan seni grafis mengalami pasang surut. Adakalanya pada dekade tertentu, seni grafis dianggap bukan seni. Hal ini terjadi karena pengertian yang sudah dibangun susah payah tidak disambut merata di medan sosial seni.
Di tengah pelbagai kemudahan aplikasi teknologi/media, kita sambut upaya Bentara Budaya menyelenggarakan Triennale Seni Grafis III. Hajatan seni ini mengajak merenungkan kembali potensi konvensi, kekuatan teknik, gubahan, dan estetiknya. Kita berharap tercipta gelombang pemahaman bersama mengenai karakteristik seni grafis, peluang, dan visi pengembangannya ke arah yang lebih baik.

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JSIiysNe

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JNBpubYr

0 komentar:

Bookmark and Share