Senin, Januari 03, 2011

Desain Pendidikan Bebas Untuk Anak Jalanan

Para pengelolah dan praktisi pendidikan di negeri ini selalu saja memahamipersoalan pendidikan ini dengan kacamata konservatif sehingga tanpa sadar pendidikan formal berubah menjadi ruang status quo.  Lalu posisi keluarga itu sendiri dimana, bagi anak jalanan, keluarga mereka tentu tidak bisa mendidik sepertihalnya keluarga mapan yang bisa mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Namun ternyata tidak sekedar selesai ditaraf mencukupi saja, adanya pemahaman dan persepsi yang harus dibangun tentang masyarakat dan keluarga modern dengan standarisasi dan klaifikasi tertentu yang membangun persepsi dasar bahwa anak jalanan adalah bentuk kehidupan anak yang tidak modern sehinga tidak ada ruang buat mereka dalam kehidupan yang serba canggih ini.
Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para orang tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai “liar”  dan mengancam masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang dagang oleh para pengusaha.
Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Program televisi yang jelas menggunakan kata (televisi) PENDIDIKAN INDONESIA adalah salah satu contoh terbaiknya. Selain itu berbagai media cetak juga mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya.
Dalam posisi ini, peluang untuk memposisikan anak janan sebagai sampah masyarakat nampak semakin jelas. Karena tidak mungkin mereka (
anak jalanan) mampu menghidupi dirinya dengan jalan konstruktif seperti itu. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Paulo Freire sebagai peletak dasar dari filosofi pendidikan kritis, bahwa dalam posisi ini anak jalanan mengalami penindasan yang tidak berkesudahan sehingga mereka tidak bisa menemukan konteks hidup dalam realitas mereka. Disisi lain Erich Fromm menjelaskan secara mental pisikologis manusia menuntut dirinya untuk bebas dan lepas dari segala bentuk penindasan. 
Ini tentu tidak dipatkan pada setiap individu anak jalanan, ruang kebebasan mereka terus dibatasi oleh berbagi macam bentuk penyingkiran dan streotip yang menganggap mereka sebagi perusuh dan biang keladi kekacauan tatanan kota.
Pandangan dominan ini, masih memvonis 
Anak jalanan sebagai “anak liar”, “kotor” “biang keributan”, dan “pelaku kriminal”. Adanya stigmatisasi ini tentu saja akan melahirkan tindakan-tindakan yang penuh prasangka dan cenderung akan mengesahkan jalan kekerasan di dalam menghadapi anak jalanan. Seandainya-pun terjadi berbagai bentuk kekerasan yang keji dan tidak manusiawi atau sampai menghilangkan nyawa, peristiwa tersebut belum tentu menjadi kegelisahan dan menggelitik hati nurani publik. Atau bisa jadi ada pihak yang justru mensyukuri dan menilai bahwa peristiwa tersebut memang layak diterima oleh anak-anak jalanan. 
Menghapus stigmatisasi di atas menjadi sangat penting. Patut disadari bahwa anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan, memberi ruang pendidikan.
Untuk mengarah kesana, tentu pendidikan dan desain 
pembelajaran mereka tidak sama dengan bentuk dan desain pendidikan formal yang selama ini terus dipromosikan menjadi yang terbaik. Akan tetapi, dibutuhkan ruang yang berbeda untuk mewadahi mereka yang secara basic dan pengalaman berbeda dengan anak-anak yang cukup beruntung bersekolah di ruang yang penuh fasilitas dan desain pembelajaran yang serba mahal.
a

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JSIiysNe

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JNBpubYr

0 komentar:

Bookmark and Share