Jumat, Desember 25, 2009





PROSPEK PENGEMBANGAN UBI KAYU SEBAGAI BAHAN BAKU  BIOETHANOL
DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


Oleh : Budi Martono* dan Sasongko **

Besarnya ketergantungan Indonesia pada BBM impor semakin memberatkan pemerintah ketika harga minyak dunia terus meningkat yang mencapai diatas US$ 70 per barrel pada Agustus 2005, karena semakin besarnya subsidi yang harus diberikan pemerintah terhadap harga BBM nasional. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM yang berakibat pada meningkatnya harga BBM nasional yang dilakukan dalam 2 tahap yaitu pada bulan Maret dan Oktober 2005. Ini berakibat pada penurunan konsumsi BBM yang cukup signifikan.
 
A.       PENDAHULUAN

Sejak lima tahun terakhir Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional yang disebabkan menurunnya secara alamiah (natural decline) cadangan minyak pada sumur-sumur yang berproduksi. Di lain pihak, pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri yang berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM). Untuk memenuhi kebutuhan BBM tersebut, pemerintah mengimpor sebagian BBM. Menurut Ditjen Migas, impor BBM terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 106,9 juta barrel pada 2002 menjadi 116,2 juta barrel pada 2003 dan 154,4 juta barrel pada 2004. Dilihat dari jenis BBM yang diimpor, minyak solar (ADO) merupakan volume impor terbesar setiap tahunnya. Pada 2002, impor BBM jenis ini mencapai 60,6 juta barrel atau 56,7 % dari total, kemudian meningkat menjadi 61,1 juta barrel pada 2003 dan 77,6 juta barrel pada 2004.

Menurut catatan pertamina, total konsumsi harian BBM menurun sebesar 27 % paska kenaikan BBM tanggal 1 Oktober 2005 yaitu dari 191,0 ribu kiloliter per hari menjadi 139,8 ribu kiloliter per hari. Solar mengalami penurunan sebesar 30,3% dari 77,0 ribu kiloliter per hari menjadi 53,6 ribu kiloliter per hari. Sedangkan premium menurun cukup tajam sebesar 36,8 % dari 53,4 ribu kiloliter per hari menjadi 33,7 kiloliter per hari. Penyebab utama penurunan konsumsi ini diduga karena turunnya daya beli masyarakat dan semakin selektifnya masyarakat memilih aktivitas harian untuk menghemat pemakaian BBM.

Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM. Walaupun kebijakan tersebut menekankan penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM, kebijakan tersebut juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar nabati sebagai alternatif pengganti BBM. Selain itu pemerintah juga telah memberikan perhatian serius untuk pengembangan bahan bakar nabati (biofuel) ini dengan menerbitkan Instruksi Presiden No 1 Tahun 2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.

Beberapa dari bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan adalah biodiesel dan bioetanol. Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk menghasilkan biodiesel dan bioetanol mengingat kedua bahan bakar nabati ini dapat memanfaatkan kondisi geografis dan sumber bahan baku minyak nabati dari berbagai tanaman yang tersedia di Indonesia. Menurut hasil riset Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi menjadi energi bahan bakar alternatif. Diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar dan kapuk yang bisa dijadikan biodiesel untuk bahan bakar alternatif pengganti solar, dan tebu, jagung, singkong, ubi serta sagu yang bisa dijadikan bioetanol untuk dijadikan bahan bakar alternatif pengganti premium.

Beberapa diantara tumbuhan penghasil energi dengan potensi produksi minyak dalam liter per hektar dan ekivalen energi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi

Jenis Tumbuhan
Produksi Minyak  (Liter per Ha)
Ekivalen Energi         (kWh per Ha)
Elaeis guineensis (kelapa sawit)
3.600-4.000
33.900-37.700
Jatropha curcas (jarak pagar)
2.100-2.800
19.800-26.400
Aleurites fordii (biji kemiri)
1.800-2.700
17.000-25.500
Saccharum officinarum (tebu)
2.450
16.000
Ricinus communis (jarak kepyar)
1.200-2.000
11.300-18.900
Manihot esculenta (ubi kayu)
1.020
6.600
Sumber : Business Week edisi 15 Maret 2006


B. POTENSI PENGEMBANGAN BIOETHANOL DI  PROPINSI  DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Bioetanol merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak premium. Untuk pengganti premium, terdapat alternatif gasohol yang merupakan campuran antara bensin dan bioetanol. Adapun manfaat pemakaian gasohol di Indonesia yaitu : memperbesar basis sumber daya bahan bakar cair, mengurangi impor BBM, menguatkan security of supply bahan bakar, meningkatkan kesempatan kerja, berpotensi mengurangi ketimpangan pendapatan antar individu dan antar daerah, meningkatkan kemampuan nasional dalam teknologi pertanian dan industri, mengurangi kecenderungan pemanasan global dan pencemaran udara (bahan bakar ramah lingkungan) dan berpotensi mendorong ekspor komoditi baru. Bioetanol tersebut bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Adapun konversi biomasa tanaman tersebut menjadi bioethanol adalah seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 2 Konvensi biomasa menjadi bioethanol

Biomasa (kg)
Kandungan gula (Kg)
Jumlah hasil bioethanol (Liter)
Biomasa :        Bioethanol
Ubi kayu 1.000
250-300
166,6
6,5 : 1
Ubi jalar 1.000
150-200
125
8 : 1
Jagung 1.000
600-700
400
2,5 : 1
Sagu 1.000
120-160
90
12 : 1
Tetes 1.000
500
250
4 : 1
   Sumber data : Balai Besar Teknologi Pati-BPPT,2006

Setelah melalui proses fermentasi, dihasilkan etanol. Menurut penelitian BPPT, tanaman jagung merupakan unggulan untuk bahan utama bioetanol karena selain dari segi ekonomis tergolong murah, jumlah hasil bioetanol yang dihasilkan jagung ternyata lebih besar di antara tanaman lain seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Jagung sebesar 1 ton dapat menghasilkan 400 liter bioethanol sementara ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu untuk berat yang sama menghasilkan masing-masing 166,6 liter, 125 liter, 90 liter dan 250 liter bioetanol. Dari jagung dapat dibuat etanol 99,5 % atau fuel grade ethanol yang bisa digunakan untuk campuran gasohol. Potensi pengembangan bioethanol di DIY dari tanaman pangan dapat digunakan komoditi ubi kayu dan jagung, meskipun bisa juga tanaman ubi jalar dan mungkin sorghum.

b.1.   KOMODITI UBI KAYU

Luas Panen ,Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu

a/.     Daerah Sentra Produksi Ubi Kayu di Indonesia berdasarkan luasan panen adalah Propinsi Lampung, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi DIY, Propinsi Jawa Timur,  Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan Kabupaten Gunung Kidul merupakan daerah sentra utama ubi kayu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Data tahun 2005 menunjukkan bahwa, dari wilayah Gunung  Kidul seluas  148.536 Ha , digunakan untuk ubi kayu seluas 53.453 ha ( 35.98%) ,dengan Produksi  22.185,3 ton dan produktivitas  149,36 ku/ha . Dari total Produksi Ubi Kayu Gunung Kidul tersebut dikonsumsi sendiri sebesar  11 %, disimpan dalam bentuk gaplek sebesar  28 %, dijual sebagai ubikayu basah  21 % dan sebagai bahan baku olahan sebesar 40 %.

Grafik 1. Trend Luas Panen Ubi Kayu (Hektar) di Kabupaten se Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 1998 s/d 2005

  



b/.     Produktivitas ubi kayu di kabupaten Gunung Kidul dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2005 mengalami fluktuasi, dari  127 ku /hektar sampai dengan 174 ku/hektar. Hal ini masih relatip rendah, dikarenakan para petani masih memakai varietas lama dan pola tanam yang dipergunakan adalah tumpang sari, yang mana komoditas ubi kayu hanya diposisikan sebagai komoditas penyangga diantara komoditas pokoknya. Bila dibandingkan dengan varietas unggul ubi kayu yang ditanam secara monokultur, produktivitasnya mencapai 350 ku/hektar.

Grafik 2. Trend Produktivitas  Ubi Kayu (Hektar) di Kabupaten Gunung Kidul
Tahun 1998 s/d 2005


 





















c/.      Produksi Ubi Kayu di Kabupaten Gunung Kidul juga berfluktuasi. Produksi tertinggi pernah dicapai pada tahun 2001, yaitu sebesar 812.321 ton dan produksi terendah terjadi pada tahun 2003 sebesar 668.399 ton.

Grafik 3. Trend Produksi   Ubi Kayu (Hektar)   Kabupaten Gunung Kidul
Tahun 1998 s/d 2005




  d/.     Kabupaten Gunung Kidul, terdiri atas 18  kecamatan  yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pertanaman ubi kayu tersebar di seluruh  kecamatan dengan luas panen, produksi dan produktivitas bervariasi. Dari luas panen ubi kayu terdapat beberapa kecamatan yang mempunyai luasan cukup besar, diantaranya Kecamatan Playen, Semanu, Saptosari dan Semin.

Grafik 4. Trend Luas Panen   Ubi Kayu (Hektar) di Kecamatan Kabupaten Gunung Kidul
Tahun 1998 s/d 2005
















b.2.   KOMODITI  JAGUNG

Luas Panen ,Produktivitas dan Produksi Jagung

a/.     Propinsi DIY merupakan daerah yang berpotensi untuk dikembangkan tanaman jagung, khususnya di  kabupaten Gunung Kidul dan Kulon Progo yang merupakan Corn Belt di jalur selatan pulau Jawa. Kabupaten Gunung Kidul merupakan sentra komoditi Jagung di DIY dan kabupaten Kulon Progo sebagai daerah pengembangan. Rata-rata luas panen jagung di DIY adalah sebesar 338.002 hektar . Luas panen terbesar adalah di kabupaten Gunung Kidul dengan rata-rata  sebesar 270.088 hektar per tahun.

b/.     Produktivitas Jagung di Propinsi DIY dari tahu ke tahun mengalami fluktuasi. Produktivitas rata-rata selama 5 tahun di DIY adalah sebesar 30,53 ku per hektar

c/.      Produksi Jagung di Propinsi DIY juga mengalami fluktuasi.Namun rata-rata produksi selama 5 tahun terakhir adalah 1.031.963,105 ton


C.  PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI UBI KAYU DAN JAGUNG DI PROPINSI DIY

C.1.  UBI KAYU

a/.     Pemilihan  Komoditi  Ubi Kayu    

Pada tingkat usaha tani, pengembangan teknologi diarahkan pada penggunaan varietas unggul berpotensi hasil tinggi dan berumur pendek, berkadar pati tinggi dan tahan hama penyakit. Varietas yang digunakan petani Gunung Kidul pada saat ini , adalah :

·     Mentega (Produktivitas :     20 ton/ha, kadar pati rendah )
·     Adira 4 (Produktivitas:  35  ton/ha, kadar pati tinggi )*
·     Umas Jaya 5 (Produktivitas : 30  ton/ha, kadar pati  tinggi)*
·     Gatot Koco (Produktivitas:  20 ton/ha, kadar pati tinggi )*
·     Klentengan Kapur (Produktivitas:   17  ton/ha, kadar pati tinggi)*
·     Dworowati (Produktivitas:  15  ton/ha, kadar pati  cukup )
·     Jinten (Produktivitas:  17  ton/ha, kadar pati  tinggi )*
·     Oyeng (Produktivitas:  18  ton/ha, kadar pati  cukup )

*) Direkomendasikan untuk bahan baku bioethanol


b/.     Perbaikan  Pola Tanam Ubi Kayu dan Mutu intensifikasi

Pola tanam ubi kayu di Kabupaten Gunung Kidul pada umumnya  tumpang sari dengan tanaman padi atau palawija lain. Beberapa pola tumpang sari yang diterapkan adalah :

·       Ubi Kayu-Jagung/Kc Tanah-Padi Gogo
·       Ubi Kayu-Jagung/Kc.Tanah/Kedelai-Padi Gogo
·       Ubi Kayu-Jagung-Padi Gogo

Saat ini, petani yang mengusahakan budidaya ubi kayu secara tradisional adalah sebesar  80 % dari total luas tanam . Petani ini di cirikan dengan cara budidaya ubi kayu secara tradisional , antara lain :                            
·          Menggunakan  bibit unggul lokal                                                                      
·          Penetapan jarak tanam belum maksimal                                                          
·          Tidak dilaksanakan pemeliharaan secara maksimal : penyulaman, penyiangan, pembumbuman  dan pamangkasan
·          Pemupukan masih bersamaan dengan tanaman tumpangsarinya (belum dilaksanakan pemupukan secara individu)
·          Pengendalian OPT belum maksimal                                                   
·          Penanganan panen dan pasca panen ubi kayu belum maksimal.         
  
Sedangkan petani yang sudah menerapkan teknologi anjuran untuk ubi kayu sebesar 20 % dari total lluas tanam, dan dicirikan dengan :

                    
·         Penggunaan bibit unggul nasional : Adira 4, Umas Jaya 5, Thailand, Malang 
·         Pengolahan lahan : dibajak/dicangkul              
·         Penetapan jarak tanam : 3 m x 1 m, 2,5 m x 1 m                            
·         Penanaman : 1/3 dari panjang stek dibenamkan dalam tanah  
·         Pemupukan secara individu :                                                                            
-.    Pupuk tunggal : Urea : 200-300 Kg/ha, SP 36 : 100-150 kg/ha, KCl : 100-150 kg/ha              
-.    Pupuk majemuk : pupuk Phonska : 300 kg/ha                                 
      Waktu pemupukan : Susulan 1 : 30 hst, susulan 2 : 60-90 hst  
      Caranya : dibuat tugalan disekeliling tanaman ubi kayu dengan jarak 10 cm dari stek pupuk diberikan 15 g/btng dan ditutup tanah.
-.    Pupuk Organik : 5-10 ton/ha                                                      
                                        

c/.      Pemeliharaan :                                                                                                                                                          
a.   Penyulaman : 1-14 hst                                                                             
b.   Penyiangan dan pembumbuman :                                     
      Pertama : 30-45 hst                                                       
      Kedua  : 60-90 hst                                
c.   Pemangkasan tunas : 30-45 hst dengan menyisakan 2 tunas yang berhadapan pada tanaman ubi kayu.

d/.     Pengendalian OPT :                                                                                                                                                  
a.   Pengendalian fisik :  penyemprotan dengan air    
b.   Pengendalian mekanis : pengumpulan hama yang menyerang lalu dibunuh, menutup ubi kayu yang   keluar dengan tanah.
c.   Pengendalian kultur teknis :                                              
        - Pengolahan tanah yang baik                    
        - Menggunakan bibit yang sehat dan bermutu              
        - Melakukan pemupukan yang berimbang : N,P,K               
        - Melakukan pergiliran tanaman                                                      
        - Membuat saluran drainase yang baik                           
        - Melakukan sanitasi dan pemeliharaan tanaman yang
          intensif &  teratur
d.   Pengendalian hayati :                                                                                                                                   
        - Menggunakan tanaman yang mempunyai sifat racun : tembakau, mahoni, nimba, mindi dll                   
        - Menggunakan musuh alami : predator, parasitod                                                                                    
        - Menggunakan agensia hayati : Beuveria bassiana, Metharizium sp, Baccilus thuringensis, Trichoderma sp, Gliocladium sp

e/.     Penanganan panen dan pasca panen yang lebih maksimal.                              

MUSIM PANEN UBI KAYU KABUPATEN GUNUNG KIDUL
a. Bulan Juli
b. Bulan Agustus
c. Bulan September


C.2.  JAGUNG

a.  Pemilihan  Komoditi  Jagung    
Varietas yang digunakan petani Gunung Kidul dan Kulon Progo pada saat ini , adalah :
a.          Bisma
b.          Lamuru
c.          Sukmaraga
d.          BISI 1
e.          BISI 2
f.           Pioner 11
g.          Pioner 21
Kebijakan penggantian varietas komposit  dengan jagung hibrida, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas diatas 5 ton per hektar

b. Peningkatan  Mutu intensifikasi Jagung
Penggunaan pupuk berimbang dengan pemberian pupuk majemuk serta penggunaan pupuk organik untuk perbaikan status tanah


D.   ASUMSI- ASUMSI

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu penghasil tanaman Ubi kayu  dan Jagung , sangat berpotensi untuk dikembangkan bioethanol, ini dapat dilihat dari jumlah produksi tanaman tersebut seperti pada tabel dibawah.


Tabel 3.   Realisasi dan sasaran produksi bahan baku bioethanol serta perkiraan bioethanol yang dihasilkan tahun 2005-2007

Tahun
Komoditas
Produksi (Ton)
Produksi bioethanol (liter)
Produksi bioethanol (KL)
% supply bioethanol nasional
2005
Jagung
248.960
99.584.000
99.584
6,22

Ubi kayu
920.909
153.423.439,40
153.423
9,59
2006
Jagung
214.202
85.680.800
86.861
4.98

Ubi kayu
1.022.239
170.305.017,40
170.305
9,90
2007*
Jagung
208.294
83.317.600
83.318
4,53

Ubi kayu
819.944
136.602.670,40
136.603
7,42
Sumber data : Buku saku dan Renstra Dinas Pertanian Propinsi DIY 2005
*) ANGKA SASARAN


Tabel 4.  Proyeksi kebutuhan Bioethanol sebagai campuran bensin tahun 2005-2010

Tahun
Konsumsi Premium
Volume * (Juta KL)
Kebutuhan FGE
untuk campuran gasohol 10 %
Volume (Juta KL)
2005
16,05
1,60
2006
17,17
1,72
2007
18,37
1,84
2008
19,66
1,97
2009
21
2,10
2010
22,47
2,25
Sumber data : Balai Besar Teknologi Pati-BPPT,2006
*) Asumsi laju konsumsi 7 % per tahun
     FGE : Etanol 99,5 %

Pada tabel diatas terlihat bahwa dari angka ramalan II tahun 2006 dan sasaran tahun 2007 apabila dimanfaatkan sebagai bioethanol dapat menyumbang kebutuhan bioethanol secara nasional yaitu apabila di DIY dikembangkan antara dua komoditas tersebut maka komoditas ubi kayu dapat menyumbang lebih tinggi dari pada komoditas jagung baik tahun 2005, 2006 maupun 2007. Sedangkan apabila dikembangkan bioethanol dari dua komoditas tersebut maka sumbangan supply bioethanol nasional adalah tahun 2005 sebesar 15,81 %, 2006 : 14,88 % dan 11,95 %.

Dengan adanya potensi tersebut, maka gambaran prakiraan biaya untuk memproduksi 1 liter ethanol 99,5 % baik dengan bahan baku jagung maupun ubi kayu seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 5. Prakiraan biaya produksi per liter ethanol pada komoditas ubi kayu

Uraian
Ratio per liter FGE
Harga satuan/Rp
Biaya (Rp)
Harga satuan/Rp
Biaya (Rp)
1. Ubi kayu
6,5 kg
340/kg
2.210
500/kg
3250 ***)
2. Energi
    - Uang air,  Kg
    - Listrik, Kwh

3,8
0,2

80 *)
1.000 **)

304
200

80 *)
1.000 **)

304
200
3. Bahan kimia
-
-
80
-
80
4. Lain-lain
-
-
250
-
250
Total


3.044

4.084
Sumber data : Balai Besar Teknologi Pati-BPPT,2006
*) Coal bases  **) Grade bases (harga PLN)
***) Harga ubi kayu saat ini (Rp 500,-/Kg)

Tabel 6. Prakiraan biaya produksi per liter ethanol pada komoditas jagung
Uraian
Ratio per liter FGE
Harga satuan/Rp
Biaya (Rp)
1. Jagung
2,5 kg
1.100/kg
2.750
2. Energi
    - Uang air,  Kg
    - Listrik, Kwh

3,8
0,2

80 *)
1.000**)

304
200
3. Bahan kimia
-
-
80
4. Lain-lain
-
-
250
Total


3.584
Sumber data : Dinas Pertanian DIY, 2006 diolah
*) Coal bases
**) Grade bases (harga PLN)

Melihat tabel diatas apabila komoditas ubi kayu akan dijadikan bahan baku ethanol maka harga ubi kayu kurang lebih mencapai Rp 340,- Namun apabila harga ubi kayu untuk memproduksi bioethanol menggunakan harga pasar pada saat panen raya yaitu Rp 500,- per Kg maka biaya produksi per liter ethanol adalah sebesar Rp 4.084,- dan ini berarti akan mengurangi keuntungan yang diperoleh produsen ethanol. Sedangkan pada komoditas jagung biaya yang dikeluarkan juga cukup tinggi. Dengan demikian untuk menetapkan bahan baku ethanol harga pasar menjadi pertimbangan yang sangat penting.


D. TANTANGAN KEDEPAN

Pengembangan bioethanol berbahan baku ubi kayu dan jagung membutuhkan investasi  yang besar untuk membiayai pembuatan pabrik dan teknologi budidaya seperti  bibit, pupuk maupun obat-obatan. Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dibidang pertanian dan perkebunan diharapkan dapat menjadi motor penggerak bagi usaha budidaya ini karena besarnya biaya budidaya dan pengembangan.

Saat ini yang menjadi kendala pengembangan bioethanol antara lain ketersediaan lahan, keterbatasan pasar atau penggunanya. Penggunaan dan komersialisasi bioethanol mungkin tidak dapat dilihat dalam waktu dekat. Hal ini antara lain disebabkan karena belum adanya aturan hukum yang jelas dalam industri ini dan standar penggunaan bahan-bahan untuk bioethanol sehingga menyulitkan produsen bioethanol untuk memperoleh pembiayaan dan menjalankan bisnisnya. Selain itu, kurangnya jaringan distribusi dan infrastruktur menyulitkan pemasaran bioethanol di pasar domestik. Sebagai konsekuensi, sebagian besar bioethanol yang diproduksi sekarang digunakan untuk pasar ekspor.


E. PENUTUP
1.       Propinsi DIY memiliki potensi yang cukup besar dalam mendukung produksi bioethanol di Indonesia. Apabila dari ubi kayu, kontribusinya sebesar 9.5-10 % dari total kebutuhan ethanol nasional, sedang dari jagung 5-6.5 %. Apabila dua-duanya digabungkan , kontribusinya akan menjadi 12-16 % dari total kebutuhan nasional
2.       Peluang pengembangan untuk bioethanol dari ubi kayu dipusatkan di kabupaten Gunung Kidul, sedangkan pengembangan untuk bioethanol dari jagung di kabupaten Kulon Progo
3.       Peran swasta dalam implementasi pengembangan bioethanol di DIY sangan diperlukan
4.       Perlu dulakukan pengkajian AMDAL yang ditimbulkan dan peluang usaha sampingan dari limbah pabrik untuk pakan ternak dan kompos


*)      Kepala Bidang Bina Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura
**)    Kepala Seksi Kacang-kacang dan Umbi-umbian    




Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JSIiysNe

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JNBpubYr

0 komentar:

Bookmark and Share