Sabtu, Juli 30, 2011

Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik 

SEJAK tahun 1970-an penelitian agama mulai diperkenalkan oleh beberapa pakar dan ilmuan kepermukaan Indonesia. Mukti Ali misalnya, mengemukakan bahwa pentingnya sebuah penelitian terhadap masalah-masalah keagamaan. Tidak saja penting, penelitian keagamaan merupakan bagian yang memperkukuh dasar dan pondasi agama itu sendiri. Tanpa upaya demikian, agama hanya akan menjadi urusan yang bersifat individual, eksklusif dan komunal.
Upaya penelitian terhadap agama dimaksudkan untuk melihat gejala yang lebih empirik yang dipandang secara positif. Gejala empirik inilah yang dapat diteliti dengan berbagai sudut pandang analisa yang digunakan. Sebab, dalam agama memiliki keragaman pemahaman. Masing-masing pemahaman tersebut merupakan akumulasi yang muncul dari doktrin agama yang telah terkonstruk menjadi prilaku, tindakan bahkan ideologi.
Agama sebagai refleksi sosiologis setidaknya dapat ditempatkan sebagai gejala sosial-budaya yang tidak lagi dipandang semata-mata sebagai yang sakral dan eskatologis. Dalam pandangan Amin Abdullah (1999: 9) agama pada saai ini tidak dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologis-normativ semata-mata, sebab ada pergeseran paradigma dari pemahaman yang berkisar pada doktrin ke arah entitas sosiologis, dari diskursus esensi ke arah eksistensi.
Dalam memahami agama, Abuddin Nata (1999: 27-28) menjelaskan bahwa pendekatan teologis normativ lebih menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap suatu yang benar dibandingkan dengan yang lainnya. Dalam Islam, secara tradisional pendekatan teologis normativ dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang sebelumnya terdapat teologi yang bernama Murji’ah dan Khawarij.
Pendekatan teologi normativ dalam pemahaman keagamaan adalah yang mengklaim dirinya yang paling benar, sedangkan yang lain salah. Padahal jika ditinjau, studi agama sekarang dapat didekati melalui berbagai pendekatan. Selain pendekatan teologis-normativ, Abuddin Nata mencatat bahwa pendekatan studi agama dapat dilihat dari sisi sosiologis, antropologis, psikologis, historis, filosofis dan kebudayaan.

Agama: Perlukah Diteliti?
Sepanjang sejarah agama-agama manusia tumbuh secara bersama-sama, maka agama merupakan salah satu bagian dari kehidupan manusia yang tidak terpisah. Dalam kehidupan seperti itu diperlukan sebuah kesadaran bagi para pelaku agama untuk selalu mengakui bahwa agama satu dengan agama yang lain terdapat perbedaan-perbedaan dan sekaligus kesamannya. Perbedaan dan kesamaan itu bisa muncul dari sisi ketuhanan (keyakinan), peribadatan maupun cara meyakini dan beribadahnya.
Islam sebagai agama tentu saja bisa diteliti secara detail menyangkut apa saja yang terkait di dalamnya, mulai dari cara bertuhan (berteologi) sampai beramal (berperilaku dan berbuat). Apalagi kalau persoalan agama ini menyangkut lebih dari satu agama, sudah barang tentu studi pendekatan agama merupakan kekarusan ilmiah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Sebagian besar pakar berpendapat bahwa agama bukan saja dipandang sebagai gejala normatif, namun agama perlu juga dilihat sebagai gejala sosial budaya. Jika Islam dipandang dari gejala tersebut, maka dalam Islam setidaknya terdapat lima gejala yang perlu diteliti. Pertama, sripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap perilaku dan penghayatan para penganutnya, ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperi shalat, haji, puasa perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, seperti masjid, gereja, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan, tempat penganut agama berkumpul dan berperan, seperti NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, Syi’ah danlain-lain (Mudzhar, 1998:14)
Dari kelima gejala tersebut merupakan bagian dari sasaran atau area yang dapat diteliti. Belum lagi seputar masalah yang lain, seperti lembaga pendidikan, lembaga sosial, baik formal maupun non formal yang melabelkan nama agama (Islam), juga menjadi bagian riil dari sasaran penelitian. Tentu jenis penelitian ini tidak hanya mengkaji aspek keagamannya saja, melainkan bisa dari sisi yang lain, seperti manajemen, strategi dan lain-lain.
Lembaga pendidikan misalnya, terdapat banyak persoalan yang perlu dikaji secara mendalam. Mukti Ali (1987: 101-148) pernah melakukan penelitian terhadap masalah ini di Malang Selatan tepatnya di desa Putukrejo, ia mencatat bahwa ada lima macam lembaga pendidikan agama di luar perguruan formal dan pesantren, yaitu mejelis taklim berupa pengajian rutin setiap bulan, pengajian rutin tiga kali seminggu, kuliah subuh pada jama’ah pagi di masjid Jami’ , jama’ah khataman al-Qur’an, dan jama’ah tahlil.
Bahkan lebih menariknya lagi, dalam laporan penelitian Mukti Ali dijelaskan tentang keberagaman masyarakat sangat tinggi. Pemahaman dan penghayatan keagamaan di desa Putukrejo terhadap hari Jum’at ada sisi lain yang perlu dihormati secara legal. Sehingga hari itu adalah hari liburnya segala kegiatan perkantoran, kelurahan, yang berbeda dengan desa lain yang memilih libur pada hari minggu.
Dalam penilaian Kuntowijoyo (1998:317) bahwa ketajaman Mukti Ali dalam melihat gejala keagamaan umat Islam tersebut akhirnya semakin memperoleh legitimasi dalam melakukan penelitian-penelitian selanjutnya yang hampir serupa atau bahkan penelitian yang lebih makcro dibanding dengan penelitian sebelumnya. Pada tahun 70-an –sebagai Mentri Agama pada waktu itu- dengan gencar melakukan program-program pembangunan dan peningkatan ketrampilan di pesantren-pesantren. Usaha-usaha itu tentu mengundang pemikiran kalangan ilmuan untuk memahami masyarakat Islam dengan baik.
Sejumlah buku tentang pesantren telah ditulis dan diterbitkan, sebagai upaya untuk memahami diri sendiri oleh umat Islam. Jasa terbesar dalam pemikiran tentang pengembangan masyarakat pesantren harus diberikan kepada LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidilan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang berkedudukan di Jakarta, tetapi mempunayi cabang-cabang di daerah. Lembaga itu mempelopori pelatihan-pelatihan ketrampilan dan pembentukan lembaga pengembangan masyarakat di banyak pesantren di seluruh Indonesia.
Islam: Ajaran Wahyu
Sebagaimana yang sering kita pahami bahwa Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Saw sebagai pedoman dan petunjuk hidup di dunia dan akhirat. Pengertian wahyu tersebut dapat dilihat dari dua hal, yakni wahyu yang berbentuk al-Qur’an dan wahyu yang berbentuk hadits, sunnah Nabi Muhammad Saw.
Dalam al-Qur’an banyak dijumpai persoalan-persoalan yang dapat dijadikan sebagai sasaran penelitian. Mulai dari substansi makna perkataan dalam al-Qur’an sampai hasil pemahaman (penafsiran). Atau bahkan di luar isi kandungannya juga bisa menjadi bagian penelitian, seperti sebab-sebab turunnya al-Qur’an, bacaan al-Qur’an dan lain-lain.
Pemahaman umat Islam terhadap al-Qur’an tidak selamanya sama dan bahkan seringkali berbeda. Ada sebagian orang/kelompok yang memahami al-Qur’an secara tekstual dan ada pula yang memahami secara konstektual. Begitu pula penafsiran yang dilakukan oleh mufassir juga berbeda-beda. Ada yang melakukan penafsiran secara riwayah, matsur, dan ada pula yang melakukan secara Isyari atau bahkan ra’yi. Hampir semua perbedaan tersebut mempunyai ‘berkah’ tersendiri bagi kita supaya dijadikan sebagai lahan penelitian. Tentu, hal ini menunjukkan dinamika internal dalam umat Islam yang kreatif dan dinamis.
Sisi lain untuk tidak menunjuk dengan kata studi tafsir al-Qur’an juga dilakukan dengan cara studi hemeneutik. Sebagai cara pendekatan baru, tidak selamanya bisa diterima oleh seluruh umat Islam. Kerana barangkali kata tersebut masih aneh dan sulit ditemukan dalam katalog khazanah Islam klasik. Namun, perlu diakui bahwa dengan pendekatan hermeneutik, kajian tersebut lebih bersifat interdisipliner mengenai al-Qur’an. Sebab al-Qur’an selain berbicara tentang nilai-nilai keagamaan, juga banyak berbicara isyarat-isyarat ilmu pengetahuan bahkan rekaman sejarah Nabi, masa-masa sebelum al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai rasul terakhir (Martin, 2001: 173-200).
Begitu pula dengan hadits, hal ini cukup memancing perhatian umat Islam ketika menelusuri keshahihannya dan lebih-lebih berhadapan dengan konteks dimana hadits itu akan dijadikan sumber rujukan sebagai pendamping al-Qur’an. Studi tentang hadits itu akan dilakukan, seperti yang pernah dilakukan Fazlur Rahman, bahwa studi hadits paling tidak harus dengan cara historical criticism. Sebelum diterima dan dijadikan sumber, hadits tersebut perlu dilakukan sebuah analisis kritis terhadap sejarah, matan dan rawi atau sanadnya. Sehingga sama juga dengan studi al-Qur’an yang membutuhkan pendekatan interdisipliner.

Islam: Produk Sejarah
Selain dipandang dari sisi wahyu, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk sejarah. Islam adalah peradaban yang dibentuk melalui evolusi sejarah. Bahkan wajah Islam yang ada di seluruh belahan dunia merupakan hasil dari produk sejarah. Karena itu, kaitannya dengan produk sejarah Islam inilah sasaran penelitian agama semakin luas. Sejarah Islam yang tumbuh mulai dari masa kekhalifahan sampai berkembang di seluruh kawasan dunia adalah kaya akan persoalan-persoalan keagamaan yang perlu diteliti dari sisi sejarah.
Catatan penting yang perlu penulis garis bawahi dalam kaitanya dengan Islam sebagai produk sejarah di sini adalah perlunya pendekatan arkeologis. Karena, untuk mengungkap sejarah tidak cukup menganalkan dokumen-dokumen serta perkataan yang dijadikan sumber sejarah primer. Bahkan untuk meneliti dan megggali keotentikan sebuah sejarah yang berkenaan dengan bentuk-bentuk peninggalan, tidak bisa mengabaikan pendekatan ini. Pendekatan arkeologis sangat dibutuhkan seorang peneliti dalam membantu untuk mempertajam analisis yang diperlukan ketika mendeteksi sebuah rentang masa, kurun, periode atau sisi lainnya.
Ruang lingkup studi Islam yang merupakan produk sejarah misalnya tentang fiqih/mazhab, tasawuf/sufi, filsafat/kalam, seni/arsitektur Islam, budaya/tradisi Islam. Bangunan pengetahuan kita pada wilayah Islam tersebut adalah produk sejarah yang dapat dijadikan sasaran penelitian.
Berbagai pendekatan studi Islam yang dikemukakan di atas, pada dasarnya akan menjadi tugas dan tanggung jawab Perguruan Tinggi Islam, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, guna mengembangkan penelitian di bidang tersebut. Maka seiring dengan tantangan tersebut, Atho Mudzhar menyarankan untuk PTAI semacam IAIN harus berubah menjadi Universitas. Jika dicermati dari konsep-konsep semula bahwa Islam perlu dikaji secara interdisipliner dengan pendekatan beragam dan bukan monologis, memang perubahan sangat signifikan. Mengubah PTAI yang berlatar belakang agama mengaji perguruan tinggi yang bersifat menyeluruh.

Penelitian Agama (Islam)
Secara definitif, antara pengertian penelitian agama dengan penelitian keagamaan terdapat perbedaan. Meskipun seringkali yang dimaksud disama artikan. Middleton, guru besar antropolgi di New York Universitas, berpendapat; “penelitian agama” (research on religion) dengan “penelitian keagamaan” (religious research) memiliki perbedaan. Yang pertama lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya pada tiga elemen yaitu: ritus, mitos dan magik. Yang kedua lebih menekankan pada agama sebagai sistem atau sistem keagamaan (religious system) (Mudzhar, 1998: 35).
Pembedaan pengertian sebenarnya menjelaskan bidang garap dari jenis penelitian. Kalau meneliti masalah-masalah yang bersifat doktriner, maka masuk kategori penelitian agama. Sedangkan jika penelitian tersebut bersifat sosiologis, maka masuk kategori penelitian keagamaan.
Namun jika pembedaan itu ada, kendala utamanya adalah pada metodologinya. Sebab, masih ada sebagain yang mengakui dan ada yang tidak. Akhirnya hal ini menimbulkan silang pendapat. Meski demikian, upaya untuk menyelesaikan perbedaan tetap bisa dijelaskan. Jika ingin melakukan penelitian agama, cukup memimjam metodologi penelitian sosial pada umumnya. Sedangkan untuk penelitian keagamaan tentu tidak perlu membuat metodologi sendiri, cukup memanfatakan metodologi penelitian sosial yang ada.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, agama dapat dilihat dari sisi budaya. Penelitian yang termasuk dalam katagori budaya ini adalah teks-teks, alat-alat ritus keagamaan, benda-benda purbakala agama (arkeologi), sejarah agama, nilai-nilai dari mitops-mitos yang dianut para pemeluk agama, dan sebagainya. Penelitian juga bisa mengkaji pada aspek sejarah berdasarkan naskah-naskah yang ada. Misalnya meneliti naskah Sirah in Hisyam tentang siapa orang yang pertama masuk Islam. Dalam naskah tersebut ditemukan perbedaan tentang siapa yang pertama masuk Islam. Ada yang mengatakan Khadijah, ada yang berpendapat Ali ibn Abi Thalib, ada pula yang berpendapat Abu Bakr al-Shidiq serta ada yang beranggapan Zaid ibn Haritsah.

Metode Grounded Research
Dalam penelitian sosial biasa dikenal dengan metode Grounded Research yang bisa digunakan pada penelitian agama. Metode grounded research adalah metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang diperoleh secara sistematik dengan menggunakan metode analisis komparatif konstan. Bertolak dari pengertian ini, ciri grounded research adalah adanya tujuan menemukan atau merumuskan teori dan adanya prosedur sistematis, serta penggunaan analisis komparatif konstan.
Tujuan utama dalam grounded research adalah merumuskan teori berdasarkan data yang dijamin keabshannya sebagai alternatif lain dari metode-metode sosial yang ada selama ini. Atau sering lebih bersifat verifikatif. Metode grounded research ini digunakan karena beberapa pertimbangan sebagai berikut;
1. Memiliki suatu teori harus juga dilihat dari segi bagaimana dahulunya teori itu dirumuskan, di samping penilaian tentang keruntutan logika (logical consistecy), kejelasan (clarity), kehematan (parcimony), kepadatan (density), keutuhan (integation) dan operasionalnya.
2. Penelitian sosial, khususnya sosiologi, selama ini banyak bersifat membuktikan kebenaran teori yang telah ada (verifikasi) yang kurang memberikan perhatian penjelmaan teori baru.
3. Teori yang didasarkan atas data akan tahan lama dan sulit diubah walaupun setiap teori memerlukan perubahan atau reformulasinya.
4. Teori yang dihasilkan grounded research berdasarkan pada data, karena itu ia disebut dengan teori berdasar (grounded theory). Keuntungan grounded theory dibandingkan dengan teori deduktif logis (logic deductive theory), ia dapat mencegah permulaan dan penggunaan teori secara oportunistik kerana selalu didasarkan dan dikendalaikan oleh data.
5. Penelitian verifikatif bertitik tolak dari suatu hipotesis atau teori yang telah dirumuskan sebelum penelitian dilakukan dan kemudian dibuktikan kebenerannya penelitian. Sebaliknya grounded research tidak bertolak dari suatu hipotesis atau yeori, hipotesis justru muncul setelah penelitian dilakukan dan teori dibangun pada akhir penelitian (Mudzhar, 1998: 48-49).
Dalam grounded research ciri kedua adalah data yang sistematis. Artinya data yang diperoleh melalui prosedur penelitian. Metode grounded research memiliki komponen kegiatan seperti persiapan, pengumpulan data, pengkodean, analisis dan penulisan laporan, tetapi pelaksanaanya tidaklah secara bertahap (dalam arti satu demi satu) menurut urutan tersebut. Setelah prosedur ini dilakukan, kemudian langkah selanjutnya adalah analisis sesuai dengan obyek studi yang dikaji. Prosedur suatu penelitaian atas dasar grounded research secara singkat dapat disebutkan dalam lima langkah sebagai berikut:
1. Menentukan sasaran studi dan memilih kelompok-kelompok sosial yang hendak diperbandingkan yang sekaligus akan menjadi sumber data, biasanya termasuk penentuan informan pangkal (key informan).
2. Data yang diperoleh (melalui teknik-teknik pengumpunlan data yang digunakan) diklasifikasikan dengan cara mencari persamaan dan perbedaanya sehingga melahirkan ketegori-kategori.
3. Ketegor-kategori tersebut kemudian dicari ciri-ciri pokoknya untuk dapat diketahui sifatnya.
4. Kategori-kategori tersebut (setelah diketahui sifat-sifatnya) kemudian dihubungkan satu sama lain sehingga melahirkan hipotesis.
5. Hipotesis-hipotesis itu kemudian dihubungkan lagi satu sama lain sehingga melahirkan jalur-jalur kecenderungan yang lebih umum yang akan menjadi inti dari teori yang akan muncul (Mudzhar, 1998: 50-51).
Adapun ciri ketiga dari grounded research adalah analisis komparatif. Artinya bahwa analisis terhadap setiap kategori yang muncul selalu dilakukan dengan cara memperbandingkan satu sama lain. Dengan analisis komparatif tidak perlu dibayangkan bahwa lokasi penelitian harus luas dan berserak-serak karena analisis komparatif dapat digunakan untuk segala ukuran unit sosial.
Prinsip kerja metode analisis ini terdiri dari atas dua tahap pokok, yaitu; (1) Memperbandingkan setiap tahun untuk memunculkan berbagai kategori. Dan (2) memperbandingkan dan mengintegrasikan kategori-ketegori dan sifat-sifatnya untuk memunculkan hipotesis dan memberi batasan teori.
Meskipun demikian, grounded research memiliki kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kekuatannya adalah data bisa lebih lengkap dan lebih mendalam karena langsung dianalisis, sehingga sesuatu yang dianggap sebagai lowongan data segera akan dapat diketahui dan disempurnakan. Teori yang akan muncul pun terbuka dari kemungkinan yang lebih banyak, dibanding dengan penelitian verifikatif yang hanya terbatas pada satu kemungkinan, yaitu menerinma atau menolak hipotesis atau teori yang diuji.
Sementara kelemahannya adalah terletak pada sulitnya menemukan saat yang tepat kapan penelitian harus berhenti, karena hipotesis yang telah dibangun dapat jatuh kembali berhubungan dengan datangnya data baru yang membatalkannya, dan dapat bangun kembali bila data baru yang menyokongnya. Sisi kelemahan lain juga terletak pada pandangan dasarnya, bahwa untuk memahami suatu data tidak perlu digunakan suatu teori tertentu, melainkan semata-mata menurut kepekaan keluasan wawasan peneliti.
Catatan penting yang perlu penulis tegaskan di sini berkaitan dengan metode grounded research adalah pada dasawarsa 1980-an terjadi perjuangan intelektual yang luar biasa kuantitasnya. Frekuensi pertemuan-pertemuan dengan nama seminar, diskusi, sarasehan, forum lokakarya, pengkajian, ceramah menyerap hampir seluruh tenaga ilmuan sosial. Tampaknya ‘budaya lisan’ seperti itu pada akhirnya disadari perlu diperhatikan bahwa semangat yang muncul dari aktivitas tersebut merupakan perjuangan yang panjang dan melelahkan. Upaya yang kemudian disikapi dengan cerdas adalah menulis karya tulis, melakukan penelitian dan sebagainya. Karena, karya tulis dikalangan ilmuan saat itu tergolong masih langka. Sehingga dari budaya lisan berubah menjadi budaya penelitian, mencari data, interview dan lain-lain.
Salah satu aktivitas yang terbangun dari kepedulian ini adalah Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) yang menerbitkan jurnal yang serius, Ulumul Qur’an. Selain itu, ada LP3ES, yang sebenarnya merupakan lembaga yang bersifat umum, tapi memustkan perhatiannya pada masalah pesantren, kelompok masyarakat Islam pedesaan, dan lapisan bawah lainnya. Begitu pula Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). lembaga ini mempertemukan kaum ulama pesantren dengan ilmuan sosial. Selain kegiatan yang serupa community development, P3M juga menerbitkan jurnal Pesantren, sebuah jurnal interdisipliner.
Hampir semua lembaga berusaha untuk memberikan epistemologi terhadap pertemuan antara nilai dan norma agama dengan ilmu sosial. Hidayat Nataatmadja misalnya, sebagaimana dijelaskan Kuntowijoyo (1998: 320-321), dalam sebuah bukunya yang agak sulit untuk dibaca, ia melakukan kritik atas ilmu-ilmu empirik dan rasional. Semua ilmu bertolak dari aksioma yang tidak pernah dibuktikan keberadaannya. Ia membuat contoh, bahwa energi keberadaanya masih tetap merupakan barang gaib. Agama dalam hal ini jauh lebih pasti daripada ilmu karena mengenai relativitas moral.
Perhatian yang sama juga ditunjukkan oleh pemikir lain. Pada umumnya semua setuju bahwa sebuah teori ilmu-ilmu Islam harus mendasarkan diri pada wahyu. Syafruddin Prawiranegara sudah lama manyatakan pentingnya refleksi normativ, menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk sebagai ayyatun bayyinat atau realitas obyektif. Oleh karena itu penelitian-penelitian empirik diperlukan untuk menunjang pembangunan sebuah teori. Bagi M. Dawam Rahardjo, metodologi yang tepat adalah fenomenologi, grounded research, dan riset aksi. Hal senada juga muncul dari pendapat Mukti Ali, meskipun ia menyarankan bahwa pentingnya metodologi grounded theory, atau teori berakar, akar teori justru muncul dari kenyataan empiris (Ali, 1987: 17). Lebih lanjut ia memberi penilaian bahwa sedikit bagi kaum intelektual Islam yang membicarakan masalah epistemologi dan metodologi ilmu sosial Islam.

Desain Penelitian Agama
Sebagaimana gambaran sebelumnya, bahwa agama dapat dipandang dari gejala budaya dan gejala sosial, maka desain penelitian agama dapat dibedakan menjadi dua jenis pengamatan tersebut.
Pertama, desain penelitian agama sebagai gejala budaya pada umumnya lebih sederhana, karena penelitian agama-budaya sifatnya unik dan tidak memerlukan pembuktian keterulangan gejala di tempat lain. Sebuah penelitian sejarah tentang Bani Umayyah misalnya, diperlukan desain mengenai kejelasan pembahasan topik yang diteliti. Untuk membahas sebuah topik penelitian agama seperti ini, sedikitnya ada empat hal yang harus diperhatikan dan diperjelas. Pertama, mengenai perumusan masalah; apa pertanyaan-pertanyaan pokok? Dalam penelitian pokoknya adalah faktor-faktor apa saja yang telah menyebabkan jatuhnya Bani Umayyah dan bangkitnya Bani Abasiyah. Kedua, mengenai arti pentingnya atau tujuan; kenapa ia mencari jawaban atas pertanyaan itu, apa kontribusinya? Ketiga, mengenai metode menjawab pertanyaan penelitian. Di antaranya sumber informasi yang diperlukan untuk menjawab, bagaimana memahami dan menganalisa informasi itu, kemudian bagimana mengkaitkannya menjadi satu penjelasan yang lebih bulat untuk menjawab persoalan penelitian tersebut. Keempat, mengenai sumber literatur (telaah pustaka) tentang masalah yang bersangkutan. Peneliti dianjurkan terlebih dahulu membaca referensi yang berkaitan dengan teori jatuhnya Bani Umayyah sampai bangkitnya Bani Abasiyah secara mendalam. Dari keempat itu, merupakan desain sebuah penelitian, dalam hal ini agama sebagai gejala budaya yang mengambil topik sejarah Islam pada masa klasik.
Kedua, desain penelitian agama sebagai gejala sosial, pokok persoalannya yang dihadapi pada hakikatnya sedikit lebih kompleks dan diperlukan sistematika yang lebih tinggi dibanding pada saat penelitian agama sebagai gejala budaya. Desain ini memang membutuhkan penjabaran yang lebih elaboratif dalam menjelaskan sebuah keterulangan yang diamati sebelum sampai pada akhir kesimpulan. Misalnya penelitian tentang “Pandangan Ulama Tentang Penggunaan Alat Kontrasepsi Spiral (IUD) dalam Program Keluarga Berencana (KB)”. Pertama, menjabarkan permasalahan yang diteliti, misalnya apa yang disebut pandangan. Kemudian apa indikasinya judul di atas dapat dikategorikan penelitian agama? Tentu penelitian ini adalah mempelajari pandangan ulama. Lalu, signifikansinya apa? Misalnya tentang pandangan ulama mengenai KB itu sangat penting untuk membangun pemahaman yang lengkap mengenai pandangan kelompok Islam terhadap penggunaan alat kontrasepsi spiral dalam keluarga berencana.
Langkah selanjutnya mengenai desain metodologi, yakni cara bagaimana kita melakukan penelitian. Kama cara yang harus dijelaskan adalah bagaimana mengumpulkan data; dengan wawancara, angket atau yang lain, siapa dan berapa jumlah informasinya? Di mana mereka bertempat tinggal? dan seterusnya.
Hal lain yang perlu disadari adalah cara pengukuran. Ini penting karena menyangkut masalah pandangan yang harus representatif mewakili semua ulama. Misalnya dia mengatakan pandangannya tentang penggunaan IUD dengan sangat setuju, setuju, kurang setuju, atau mungkin juga pandangan mengenai alat kontrasepsi secara keseluruhan. Bagaimana mengukur setuju atau tidaknya dengan cara jawaban ya/tidak, sangat setuju/tidak setuju dan sebagainya.
Kemudian dibuat indeks, guna memudahkan dalam melihat data yang terkumpul sebagai jawaban atas pertanyaan. Selain melihat data, juga melihat informasi dan bagian dari cara melakukan pengukuran. Maka yang menjadi alat ukur mengenai masalah ini adalah kedekatan pandangan satu sama lain.
Selanjutnya, menganalisis pandangan para ulama dari sekian jumlah yang dijadikan sampel dalam penelitian tersebut. Dalam analisa itu diperlukan sebuah proporsionalitas. Artinya keseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan misalnya, segi umur; yang lebih muda dan lebih tua, dan sebagainya. Di samping itu, seorang peneliti sosial tidak harus puas berhenti sampai pada jawaban mereka. Maka ia harus mencari mengapa mereka mengatakan begitu; apa latar belakang pendidikannya, di mana ia belajar dan sebagainya. Hal ini menghindari sebuah kesimpulan yang tidak valid.
Melalui uraian tersebut, ada empat hal yang perlu digaris bawahi dalam satu desain penelitian. Pertama, rumusan masalahnya, termasuk di dalamnya operasionalisasi konsep dari masalah yang disebut dalam judul. Kedua, signifikansi atau pentingnya penelitian. Ketiga, bagaimana cara melakukan pengumpulan dan mengalisis data. Keempat, studi pustaka, yang berguna untuk mengetahui studi apa saja yang pernah dilakukan yang berbicara mengenai pandangan ulama mengenai KB. Begitu juga, studi-studi mengenai alat kontrasepsi yang lain sudah dilakukan orang. Semua itu, untuk mengetes apakah masih terdapat pengulangan atau tidak. Dengan demikian, peneliti membandingkan dengan penelitian terdahulu apa mungkin akan terjadi terulang kembali.
 

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JSIiysNe

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JNBpubYr

0 komentar:

Bookmark and Share