Sabtu, Juli 30, 2011

Konsep Pluralitas dalam Masyarakat Madinah 

Perkembangan umat Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup drastis. Kesadaran kaum Muslimin dalam berislam nampak cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan semaraknya aktivitas dan penampilan umat Islam yang berusaha mengajak dan mempraktikkan syariat Islam secara kaffah, baik secara individu maupun negara.
Namun demikian, ada juga sekelompok model umat Islam yang formalistik, dhahirnya mempraktikkan Islam secara formal, tetapi kenyataan dalam hidupnya adalah sekuler. Antitesa dari semua ini adalah Islam Liberal yang tidak menghendaki syariat Islam diterapkan atau tidak menghendaki adanya simbul-simbul Islam seperti kalangan formalistik. Oleh Islam Liberal, golongan pertama yang menghendaki penerapan syariat Islam secara kaffah disebut fundamentalis dan golongan kedua disebut tradisionalis.
Gerakan Islam Liberal cenderung untuk mengangkat demokrasi sebagai jalan terbaik bagi msyarakat Muslim yang berkiblat kepada negara-negara Barat dan Amerika. Sedangkan mereka yang menghendaki Islam sebagai way of life, tolok ukurnya adalah praktik Rasulullah saw. dalam negara Madinah, sebagai masyarakat madani yang ideal.
Tulisan ini akan menelusuri sejauh mana kualitas pluralisme yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. terhadap masyarakat yang majemuk itu, sekaligus sebagai masukan kepada Islam Liberal yang diilhami oleh liberalisme (paham yang muncul pada abad ke-16-18 di Barat), dan yang menjadikan ide dasarnya adalah memberi kebebasan (beragama, berpikir, berkeyakinan, dan lain-lain) bagi setiap individu.
Sejumlah tokoh Barat telah menilai sinis kepada Islam sehingga agama Islam dianggap sebagai belenggu bagi liberalisme. Seperti, Foltaire yang mengatakan bahwa Islam melahirkan fanatisme karena lebih menekankan dogma, sehingga Islam tidak liberal, karena liberalisme anti dogma.
Adapun Montesquieu (penggagas trias politika) berpendapat bahwa Islam lekat dengan dispotisme, oriental, tiranik, sementara liberalisme anti dispotisme tiranik, dan lain-lain pemikir Barat yang sinis terhadap Islam. Maka, tampillah kelompok liberal Islam yang mencoba berpikir untuk mengubah wajah Islam melalui idiologi liberalisme itu yang ujung-ujungnya menolak Islam yang paripurna itu (lihat Greg Barton, gagasan Islam Liberal di Indonesia dan Bahaya Islam Liberal oleh Hartono Ahmad Jaiz).
Madinah Sebelum Hijrah Rasulullah
Yathrib adalah nama lama dari kota Madinah. Suatu daerah yang subur dan berkebun. Penduduk kota Madinah, menurut peneliti Dr. Akram Dhiya Al-Umari, terdiri dari warga Yahudi yang berhijrah ke Semenanjung Arabia pada abad pertama Masehi setelah kekalahan revolusi mereka melawan bangsa Romawi yang dipimpin oleh Kaisar Titus tahun 70 M. Sejumlah dari mereka menempati Madinah dengan membawa berbagai keyakinan, adat istiadat dan profesi bertani serta berternak. Profesi tersebut menjadikan kota Madinah sebagai kota pertanian yang menghasilkan kurma, anggur, dan delima, di samping menghasilkan peternakan dan kerajinan tangan tenun dan alat-alat rumah tangga.
Menurut perkiraan para sejarawan, jumlah tenaga inti warga Yahudi yang ikut sebagai tentara sebanyak 2000 lebih, terdiri dari 700 orang dari Bani Qainuqa, 700 dari Bani Nadhir, dan sekitar 700-900 dari Bani Quraidhah. Sedangkan warga lain yang menduduki kota Madinah adalah warga Arab yang berasal dari Yaman. Mereka terdiri dari dua kabilah, yaitu kabilah Aus dan kabilah Khajraj. Karena jumlah warga Arab dikhawatirkan berkembang, warga Yahudi melakukan politik adu domba agar mereka tidak bersatu. Bani Quraidhah dan Bani Nadhir mendukung kabilah Aus, sedangkan Bani Qainuqa mendukung kabilah Khajraj. Antara keduanya selalu berseteru. Perseteruan terakhir adalah Perang Buath, lima tahun sebelum hijrah Rasulullah saw.
Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa, "Hari Buath adalah hari pendahuluan yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya saw., yang pada saat itu terjadi pembunuhan dan banyak yang terluka, yang menyebabkan mereka masuk Islam." (HR Bukhari 5/44).
Perdamaian tercapai dengan diangkatnya Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pemimpin mereka. Tetapi, dengan hijrahnya Rasulullah saw., kepemimpinan Bin Salul tergeser, dan akhirnya dia memusuhi Rasulullah saw. dan memelopori kaum munafikun.
Hijrah Rasulullah
Ketika umat Islam di Madinah mengalami tekanan yang luar biasa oleh kaum kuffar Quraisy, Rasulullah saw. mengizinkan sejumlah orang untuk berhijrah, di antaranya ke Habasyah (Ethiopia). Mus'ab bin Umair diutus oleh Rasulullah saw. ke Madinah. Sambutan mereka ketika mendegar saudara sesama Muslim di Makkah tertindas siap menerima kehadirannya di Madinah. Dalam waktu relatif singkat, Islam telah merasuki rumah-rumah warga Madinah. Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya, "Aku telah diperlihatkan tempat hijrah kalian, suatu bumi yang subur dengan kurmanya." (HR Bukhari dan Muslim).
Umat Islam diperintahkan Rasulullah saw. berhijrah, sementara beliau berhijrah terakhir disertai oleh Abu Bakar. Hijrahnya umat Islam bukan tidak bermasalah, tetapi mengalami penghadangan seperti yang dialami oleh Suhaib Ar-Rumi yang dihadang di tengah jalan agar meninggalkan seluruh hartanya dan pergi berhijrah tanpa membawa apa-apa. Ketika Rasulullah saw. mendengar beritanya, beliau berkomentar: "Beruntung Suhaib." (HR Hakim, shahih). Adapun Nabi saw. sendiri menghadapi ujian dari mereka, yaitu perbuatan makar yang akan secara bersama membunuhnya. Hal itu diabadikan oleh Al-Qur'an, surah Al-Anfal: 30, yang artinya, "Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) berdaya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka bertipu daya, sedang Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." Allah melindungi Rasulullah saw. bersama sahabat Abu Bakar sampai ke Madinah dan kedatangannya disambut oleh kaum Muslimin yang rindu menanti kehadiran beliau.
Rasulullah saw. Menata Negara Madinah
Langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah membangun masjid sebagai pusat kegiatan dan pertemuan umat Islam. Kemudian, langkah hijrah ke Madinah ini resmi dilarang oleh Rasulullah saw. tahun ke-8 setelah kaum Muslimin berhasil menaklukkan Makkah. Beliau bersabda, "Tidak ada hijrah setelah Fattu Makkah, tetapi jihad dan niat. Apabila kalian diperintahkan perang, berperanglah." (HR Bukhari).
Rasulullah saw. menempatkan penduduk Madinah menjadi tiga bagian. Pertama adalah kelompok kaum Mukminin yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin, kedua kelompok munafikin, yaitu mereka yang ragu-ragu terhadap Islam dan terkadang cenderung kepada musuh Islam (hipokrit), dan kelompok yang ketiga adalah Yahudi.
Untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan, kelompok kaum Mukminin dipersaudarakan atas dasar aqidah yang intinya adalah kasih sayang dan kerja sama. Dengan cara itu, mereka semakin kokoh karena tidak ada lagi perbedaan antara pendatang (Muhajirin) dan pribumi (Anshar). Bahkan, ikatan mereka melebihi ikatan kekeluargaan. Sehingga, Al-Qur'an menggambarkan bahwa: "Mereka (kaum Anshar) mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka, sekalipun mereka membutuhkan apa yang mereka berikan itu." (Al-Hasyr: 9).
"Sesungguhnya orang-orang Mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (Al-Hujurat: 10).
Imam Nasa'i merekam peristiwa persaudaraan antara Saad bin Rabi dengan Abdurrahman bin Auf dari kalangan Muhajirin. Kata Saad, "Saya punya harta, kita bagi dua. Dan saya punya istri, silahkan kamu pilih, nanti saya cerai dan nikahilah dia." Abdurrahman menimpali, "Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu. Tunjukkan saya pasar?" (Imam Nasa'i 6/137).
Langkah kedua, Rasulullah saw. membuat perjanjian dengan kalangan Yahudi agar mereka sebagai warga negara ikut menjaga keutuhan Madinah dan menjaga keutuhan bersama. Perjanjian itu selanjutnya disebut "Piagam Madinah" yang ditulis sebelum perang Badr, seperti diungkapkan oleh Abu Ubaid (Al Amwal No. 518). Perjanjian tersebut berisi:
Muqadimah
Bab I: Pembentukan Ummat: berisi satu pasal.
Bab II: Hak Asasi Manusia: berisi 9 pasal.
Bab III: Persatuan Seagama: berisi 5 pasal.
Bab IV: Persatuan Segenap Warganegara: berisi 9 pasal.
Bab V: Golongan Minoritas: berisi 12 pasal.
Bab VI: Tugas Warganegara: berisi 3 pasal.
Bab VII: Melindungi Negara: berisi 3 pasal.
Bab VIII: Pemimpin Negara: berisi 3 pasal.
Bab IX: Politik Perdamaian: berisi 2 pasal.
Bab X: Penutup: berisi satu pasal.
Tetapi, kemudian perjanjian itu dikhianati oleh warga Yahudi. Bani Qainuqa merasa kesal atas kemenangan umat Islam dalam Perang Badar, sehingga salah seorang dari mereka membunuh wanita Muslimah saat sedang berbelanja, maka seorang warga Muslim membunuh orang Yahudi itu, dan serta merta warga Yahudi membunuh Muslim itu, karena itu Rasulullah saw. mengusir mereka. (Ibnul Atsir dalam Al-Kamil 2/65).
Demikian pula Bani Quraidhah yang berkali-kali melanggar janji dan banyak menimbulkan kejahatan di kalangan kaum Muslimin. Sementara Bani Nadhir bersekongkol dengan warga kafir dari luar Madinah untuk menyerang Madinah, padahal dalam perjanjian mereka harus mempertahankannya, sampailah terjadi perang Ahzab atau Khandak tahun ke-5 H, sehingga mereka pantas diusir.
Pengusiran warga Yahudi dari Madinah bukanlah karena faktor keagamannya, tetapi karena pengkhianatannya terhadap perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Maka, jelaslah bahwa di dalam negara Islam terbukti bahwa hak-hak non-Muslim dalam menjalankan keyakinannya terjaga selama mereka tidak mengganggu dan mengusik ketenteraman warga Muslim. Sedangkan para pelanggar memang pantas dihukum tanpa melihat agamanya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pluralitas di masyarakat Madinah di masa Nabi saw. sangat terjaga, apalagi hal itu diikat oleh perjanjian, yang warga Muslim dilarang melanggar perjanjian sama sekali. Allah SWT telah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu?" (Al-Maidah: 1).
"Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari sisi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (At-Taubah: 4).
Tetapi, pluralisme dalam arti memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi agama-agama lain (non-Islam) untuk mengekspansi dan mempengaruhi warga Muslim, maka hal itu tidaklah fair. Oleh karena itu, harus ada perlindungan bagi warga Muslim agar tidak terjadi tarik-menarik agama. Pluralisme dalam arti kebebasan beragama bagi tiap-tiap pemeluknya jelas dilindungi (lakum dinukum waliyadin).
Dalam sekup Indonesia, ajakan pluralisme tidak seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang disertai dengan peningkatan kualitas warga Muslim dan perlindungan terhadap mereka. Sehingga konsep pluralisme selalu merugikan umat Islam karena gencarnya non-Islam melakukan kampanye kepada umat Islam melalui berbagai cara, baik moril maupun materiil. Hal ini harus dicegah (lihat Al-Qur'an surat 109 dan 120).

 

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JSIiysNe

Artikel yang Berhubungan



Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-widget-artikel-yang.html#ixzz1JNBpubYr

0 komentar:

Bookmark and Share