Antropologi
Antropologi dalam konteks pengetahuan di Indonesia
Secara umum masyarakat Indonesia akan mengenal Pak Koen (Koentjaraningrat-red) sebagai Bapak Antropologi Indonesia mengingat peran dan jasanya dalam mengembangkan ilmu antropologi di Indonesia, hanya saja peran dan jasanya tersebut akan kita pertanyakan kembali pada saat sekarang ini, relevankah pada saat sekarang ini ?.
Sejarah perkembangan ilmu antropologi di Indonesia tidak lepas dari peran para sarjana Indonesia yang mengecap pendidikan ilmu antropologi di daerah perkembangannya (Amerika Serikat, Eropa, dan negara lainnya di luar Asia). Pengetahuan yang mereka gali tentang antropologi pada masa awal perkembangannya menjadikan diri mereka "the one and only" di negara Indonesia ini. Tulisan ini tidaklah untuk menyudutkan mereka-mereka yang telah bersusah payah mengembangkan ilmu antropologi di Indonesia namun untuk menyadarkan bahwa ilmu bukanlah milik perorangan namun ilmu dilihat sebagai suatu kebebasan dalam berekspresi menurut kaidah ilmu itu sendiri sehingga hal ini memungkinkan untuk menjadikan seseorang memiliki pendapat sendiri terhadap suatu masalah dan tidak menjadikan pendapat seorang menjadi rujukan akhir.
Dalam proses perkembangannya ilmu antropologi di Indonesia secara umum mengerucut menjadi ilmu yang menjadi penopang proses "pembangunan", hal ini menjadi rancu ketika para mahasiswa diajarkan untuk berusaha berfikir bukan diajarkan untuk bersandar pada pendapat yang telah ada tanpa adanya proses metodologis terlebih dahulu. Perkembangan tersebut menjadi terhenti ketika para antropolog berlomba-lomba untuk menjadi "agen pembangunan" dalam artian sebagai makelar proyek pembangunan yang secara eksplisit merupakan penistaan terhadap ilmu yang diperolehnya melalui serangkaian proses pendidikan, hal ini dapat dilihat secara kasat mata dengan hilangnya mata pelajaran antropologi dalam kurikulum sekolah menengah atas, apakah ini merupakan tindakan yang tidak disengaja ataukah usaha untuk mengkerdilkan peran antropolog atau juga suatu usaha untuk menjadikan ilmu antropologi sebagai suatu ilmu yang tidak tepat guna ?.
Pada bagian ini akan ditutup dengan pernyataan bahwa sebagai cabang ilmu pengetahuan, antropologi memiliki kebebasan bagi para penganutnya untuk menjadikan ilmu antropologi sebagai pengetahuan untuk berfikir dan bertindak.
Siapa antropolog dan siapa yang bukan antropolog
Dari judul pada bagian ini akan muncul dilema apakah "saya" antropolog atau bukan, akan tetapi dilema tidak akan terjadi apabila seseorang yang belajar ilmu antropologi meraih dasar pengetahuan antropologi itu sendiri, dan hal ini tidak diraih oleh semua orang yang memiliki label "antropolog" di Indonesia ini saat sekarang ini, dilema ini akan muncul ketika para antropolog tidak lagi peduli terhadap konteks budaya yang menjadi "lahan"nya akan tetapi mereka telah melompat pada "lahan" yang lain dengan menggunakan "jubah" aplikasi antropologi bahkan lebih parahnya menggunakan ilmu antropologi untuk mengeruk keuntungan secara pribadi, hal ini bukanlah hal yang tabu untuk diungkapkan, karena banyak individu yang mencoba untuk melamar menjadi "pelacur pengetahuan".
Dalam konteks tulisan ini, antropolog tidak dapat didefinisikan sebagai individu yang telah belajar ilmu antropologi saja melainkan lebih luas dan kompleks dengan artian bahwa antropolog adalah individu yang menjadikan antropologi sebagai pijakannya dalam berfikir dan bertindak, sehingga dengan definisi ini setiap individu memiliki kemungkinan yang besar untuk menjadi seorang antropolog dengan persyaratan mutlak mengetahui apa itu antropologi. Pada masa sekarang ini banyak individu dengan label antropolog namun tidak memiliki landasan antropologi dalam berfikir dan bertindak, proses berfikir dan bertindak mereka lebih didasarkan pada upaya dalam "memperkaya diri secara finansial", hal ini menghapus label antropolog dalam diri individu tersebut. Akhir bagian ini sampai pada pemikiran bahwa semua orang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang penganut antropologi bukan sebagai pelajar antropologi.
Secara umum masyarakat Indonesia akan mengenal Pak Koen (Koentjaraningrat-red) sebagai Bapak Antropologi Indonesia mengingat peran dan jasanya dalam mengembangkan ilmu antropologi di Indonesia, hanya saja peran dan jasanya tersebut akan kita pertanyakan kembali pada saat sekarang ini, relevankah pada saat sekarang ini ?.
Sejarah perkembangan ilmu antropologi di Indonesia tidak lepas dari peran para sarjana Indonesia yang mengecap pendidikan ilmu antropologi di daerah perkembangannya (Amerika Serikat, Eropa, dan negara lainnya di luar Asia). Pengetahuan yang mereka gali tentang antropologi pada masa awal perkembangannya menjadikan diri mereka "the one and only" di negara Indonesia ini. Tulisan ini tidaklah untuk menyudutkan mereka-mereka yang telah bersusah payah mengembangkan ilmu antropologi di Indonesia namun untuk menyadarkan bahwa ilmu bukanlah milik perorangan namun ilmu dilihat sebagai suatu kebebasan dalam berekspresi menurut kaidah ilmu itu sendiri sehingga hal ini memungkinkan untuk menjadikan seseorang memiliki pendapat sendiri terhadap suatu masalah dan tidak menjadikan pendapat seorang menjadi rujukan akhir.
Dalam proses perkembangannya ilmu antropologi di Indonesia secara umum mengerucut menjadi ilmu yang menjadi penopang proses "pembangunan", hal ini menjadi rancu ketika para mahasiswa diajarkan untuk berusaha berfikir bukan diajarkan untuk bersandar pada pendapat yang telah ada tanpa adanya proses metodologis terlebih dahulu. Perkembangan tersebut menjadi terhenti ketika para antropolog berlomba-lomba untuk menjadi "agen pembangunan" dalam artian sebagai makelar proyek pembangunan yang secara eksplisit merupakan penistaan terhadap ilmu yang diperolehnya melalui serangkaian proses pendidikan, hal ini dapat dilihat secara kasat mata dengan hilangnya mata pelajaran antropologi dalam kurikulum sekolah menengah atas, apakah ini merupakan tindakan yang tidak disengaja ataukah usaha untuk mengkerdilkan peran antropolog atau juga suatu usaha untuk menjadikan ilmu antropologi sebagai suatu ilmu yang tidak tepat guna ?.
Pada bagian ini akan ditutup dengan pernyataan bahwa sebagai cabang ilmu pengetahuan, antropologi memiliki kebebasan bagi para penganutnya untuk menjadikan ilmu antropologi sebagai pengetahuan untuk berfikir dan bertindak.
Siapa antropolog dan siapa yang bukan antropolog
Dari judul pada bagian ini akan muncul dilema apakah "saya" antropolog atau bukan, akan tetapi dilema tidak akan terjadi apabila seseorang yang belajar ilmu antropologi meraih dasar pengetahuan antropologi itu sendiri, dan hal ini tidak diraih oleh semua orang yang memiliki label "antropolog" di Indonesia ini saat sekarang ini, dilema ini akan muncul ketika para antropolog tidak lagi peduli terhadap konteks budaya yang menjadi "lahan"nya akan tetapi mereka telah melompat pada "lahan" yang lain dengan menggunakan "jubah" aplikasi antropologi bahkan lebih parahnya menggunakan ilmu antropologi untuk mengeruk keuntungan secara pribadi, hal ini bukanlah hal yang tabu untuk diungkapkan, karena banyak individu yang mencoba untuk melamar menjadi "pelacur pengetahuan".
Dalam konteks tulisan ini, antropolog tidak dapat didefinisikan sebagai individu yang telah belajar ilmu antropologi saja melainkan lebih luas dan kompleks dengan artian bahwa antropolog adalah individu yang menjadikan antropologi sebagai pijakannya dalam berfikir dan bertindak, sehingga dengan definisi ini setiap individu memiliki kemungkinan yang besar untuk menjadi seorang antropolog dengan persyaratan mutlak mengetahui apa itu antropologi. Pada masa sekarang ini banyak individu dengan label antropolog namun tidak memiliki landasan antropologi dalam berfikir dan bertindak, proses berfikir dan bertindak mereka lebih didasarkan pada upaya dalam "memperkaya diri secara finansial", hal ini menghapus label antropolog dalam diri individu tersebut. Akhir bagian ini sampai pada pemikiran bahwa semua orang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang penganut antropologi bukan sebagai pelajar antropologi.
Antropolog peduli budaya atau peduli kepada uang
Kejam adalah kata pertama yang meluncur dari mulut seorang rekan yang juga seorang penganut antropolog, memang kejam tapi hal ini harus direvitalisasi untuk menjadikan ilmu antropologi pada hal yang sebenarnya, mengapa pernyataan ini timbul ?, hal ini disebabkan bahwa dalam konteks Indonesia jumlah tulisan budaya daerah-daerah di Indonesia lebih diapresiasi oleh para individu dari luar Indonesia sedangkan sebahagian "antropolog" Indonesia lebih tekun mendengarkan pembahagian penghasilan sebagai seorang staf ahli ataupun seorang konsultan budaya pada suatu lembaga bahkan lebih lagi menjual budaya lokal dengan harapan menjadi orang yang "modern". Sebagai bahan perbandingan, berapakah jumlah skripsi mahasiswa antropologi Indonesia yang mengangkat nilai-nilai budaya lokal dengan jumlah antropolog dari luar Indonesia yang mengangkat nilai-nilai budaya lokal di masing-masing daerah di Indonesia.Antropologi sebagai penopang proses pembangunan, hal inilah yang disalahartikan oleh sebahagian antropolog di Indonesia, mereka berperan dalam pembangunan bukan untuk menjadikan nilai-nilai budaya sebagai modal pembangunan akan tetapi sebagai "senjata" dalam melumpuhkan masyarakat dengan budaya mereka, masyarakat dengan budaya lokal "dipaksa" belajar konsep budaya yang dianut oleh masyarakat perkotaan dengan segala kompleksitasnya dengan tujuan agar dapat menguasai sumber daya alam pada masyarakat tersebut bukan untuk mengajarkan mereka agar memelihara budaya mereka sebagai modal menghadapi masa globalisasi yang rumit. Sebahagian antropolog bekerja "demi sejengkal perut" dengan institusi atau bahkan individu pemilik modal untuk memasung masyarakat dengan nilai budaya mereka dan memberikan label "inilah masyarakat tertinggal", konsep "masyarakat tertinggal" atau apapun namanya tidak pernah tertinggal suatu hal apapun, konsep ini menggunakan satu sudut pandang untuk melabelkan hal tersebut dan masih terjadi sampai saat ini.
Walau sebelumnya dibahas secara "kejam" tentang sepak terjang para antropolog yang peduli dengan uang akan tetapi jumlah para antropolog yang peduli dengan budaya berbanding sama dengan para antropolog peduli uang, namun kehadiran mereka sedikit terlupakan bahkan dihapus dari ingatan dengan berbagai upaya. Bagian ini berhenti pada suatu pernyataan yang bersifat pertanyaan "kemanakah kita akan berpaling, budaya atau uang".
Sementara, sampai saat ini
Proses untuk menjadi seorang pelajar antropologi tidak mendapat haknya yang sesuai, hal ini terbukti dengan hilangnya mata pelajaran antropologi dari kurikulum sekolah menengah atas, namun hal ini dapat diatasi bahwa antropologi bukan ilmu yang harus dipelajari lewat buku melainkan lebih bermanfaat apabila mengalami proses belajar melalui berfikir dan berbuat. Sebahagian antropolog masih sibuk menghitung keuntungan dengan mengorbankan masyarakat dan sebahagian lagi menyibukkan diri dengan mengembangkan ilmu antropologi dalam konteks kekinian, sehingga "kita" tinggal memilih bergabung pada bagian mana ?."Antropolog secara harfiah adalah seorang individu yang memiliki/menganut dasar antropologi dalam berfikir dan bertindak serta memiliki kepedulian terhadap budaya terlebih lagi pada budayanya sendiri", mari mengembangkan antropologi dalam orientasi budaya
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar