Pelabuhan Laut dan Kebaharian Bangsa
Kebaharian suatu bangsa tercermin dari bagaimana bangsa tersebut menilai pentingnya sebuah pelabuhan laut.
Pada abad ke-16 bangsa-bangsa Eropa merintis kolonisasi di Asia dengan cara menguasai bandar lautnya. Tahun 1511, Portugis merebut Malaka. Tujuannya untuk menguasai jalur pelayaran niaga di Selat Malaka. Belanda mengimbanginya dengan membangun Pelabuhan Kutaradja (Banda Aceh). Tapi kedua bandar ini hilang pamornya setelah Sir Thomas Stamford Raffles membangun Pulau Tumasik, yang sebelumnya tidak berarti apa-apa, menjadi Bandar Singapura pada tahun 1818.
Cornelis de Houtman tiba di Anyer pada tanggal 27 Juni 1596. Pada masa itu, Anyer adalah pelabuhan laut dalam (pelabuhan samudera) yang ramai. Akibat letusan gunung Krakatau di tahun 1883, pelabuhan ini menjadi dangkal, dan terbagi dua menjadi Anyer Utara dan Anyer Selatan. Sejak itu Belanda lebih banyak menggunakan bandar Tandjong Priok (Batavia) dan Tandjong Perak (Soerabaja). Kedua pelabuhan ini bukan pelabuhan laut dalam, melainkan pelabuhan dangkal yang secara reguler dikeruk agar kapal-kapal besar dapat merapat. Pelabuhan laut dalam di Pulau Jawa ada di Cilacap, tapi letak geografis dan peruntukannya dianggap kurang ekonomis.
Rusia menjalankan “politik air panas” untuk menguasai pelabuhan laut yang tidak beku selama musim dingin. Untuk itu Rusia menanggung risiko dikeroyok banyak negara Eropa dalam Perang Krim (1854-56), di mana Rusia gagal merebut Selat Bosporus dan Dardanella dari tangan Turki. Indonesia, tanpa harus berperang sudah memiliki laut yang luas dan kaya, berikut pelabuhan-pelabuhan yang diwarisi dari Belanda. Setelah lebih dari enam dasawarsa merdeka, pelabuhan-pelabuhan peninggalan Belanda ini banyak yang telantar. Jumlahnya jauh lebih besar daripada jumlah pelabuhan baru yang kita bangun setelah NKRI berdiri.
Pelabuhan Tanjung Periuk, yang dulu menjadi pintu gerbang negara, kini sudah semakin dangkal. Kapasitas sandarnya sudah jauh berkurang. Eksplorasi kekayaan sumber alam tidak berimbas pada kebijakan jalur logistik. Tambang gas alam di Aceh dan Bontang, tambang nikel di Soroako, tambang emas, tembaga dan lain-lain di Sulawesi Utara, Sumbawa Barat dan Papua, adalah tambang-tambang yang relatif baru ditemukan.
Tapi bagaimana hasil tambang itu diangkut, tidak ada dampaknya pada kebijakan transportasi kita, terutama pada sarana dan prasarana moda transportasi laut. Celakanya, pelayaran niaga di dalam negeri juga dibiarkan dikuasai oleh perusahaan asing. Prinsip kabotase dilanggar secara terang-terangan. Pasal 33 UUD 1945 padahal jelas-jelas mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Secara umum, kita tidak pernah mendengar adanya sosialisasi atau wacana tentang kebijakan pokok subsektor transportasi laut. Sebagai jalur logistik kelautan, penanganan transportasi laut dilakukan seperti “seadanya” saja. Di bidang pertahanan, Angkatan Laut kita harus menjaga keutuhan wilayah laut kita yang luasnya jauh lebih besar daripada daratan. Panjang tapal batas NKRI dengan negara tetangga sebagian besar ada di laut. Di daratan hanya ada di Timor, Papua, dan Kalimantan.
Tapi untuk melaksanakan misi ini, Angkatan Laut kita hanya dilengkapi personel, peralatan, serta dukungan anggaran yang sangat kecil, yaitu sepertiga dari Angkatan Darat. Tidak heran bila kekayaan laut kita selalu dicuri orang. Di mata para pencuri ini, laut kita adalah “daerah tak bertuan”. Benar kata Bung Karno, bahwa kita harus menumbuhkan kembali kebaharian kita yang sudah berada di ambang kepunahan.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar