Semiotika Tata Boga
Ada hubungan yang sangat menarik antara
indera penglihatan dan pengecap, bila dibandingkan dengan indera peraba,
pendengaran,bahkan indera pembau bila membicarakan tentang topik
kuliner. Memang tidak bisa dipungkiri ada wangi makanan tertentu yang
sangat mampu merangsang rasa lapar, dan harus diakui pula hal ini tidak
tidak banyak yang disumbangkan oleh aspek suara dan sentuhan dari
masakan tersebu.
Adapun hubungan antara ‘terlihat enak’ dan
‘terasa enak’ sangat istimewa, hingga mampu melahirkan istilah ‘lapar
mata’ sebagai teman kata ‘lapar’ yang sebenarnya.
Hal ini sangat
disadari oleh para pelaku dunia kuliner. Sehingga akhirnya foto-foto
makanan pada menu sebuah rumah makan, lalu acara televisi yang bermateri
pria setengah baya melahap berbagai makanan seraya berkata ‘maknyus’,
hingga penggunaan tanda-tanda tertentu untuk mewakili produk-produk
kuliner kemudian dirasa penting.
Dapat kita
lihat pada rumah makan cepat saji yang mengandalkan bapak-bapak tua
berpangkat kolonel, badut bule berambut merah, hingga anak kembar beda
kelamin berbahasa jepun, untuk menutupi kandungannya kolesterol yang
menakjubkan, dari pandangan para orang tua yang membawa anak gemuk putih
kesayangannya yang mengharapkan mainan dari setiap paket yang ia lahap.
Dapat kita
lihat pula pada kenyataan warung kopi modern diwakilkan oleh simbol
lingkaran warna-warni cerah yang mengelilingi simbol hitam putih yang
terkadang tidak relevan,untuk mengalihkan perhatian para eksekutif muda
dari fakta bahwa mereka membeli kopi dengan harga murah dari petani, di
balik tiap seruput mewah yang mereka nikmati.
Semiotika secara
praktis berarti kajian tentang tanda-tanda. Pakar semiotika Ferdinand
de saussure menyatakan seandainya ada sebuah bisnis kuliner
masakan ayam goreng, beliau memberikan kita 3 pilihan untuk menggugah
selera makan.
Menggunakan icon
yaitu mewakili masakan ayam goreng dengan menunjukkan sosok yang
menyerupai aslinya, paling mudah dengan foto ayam goreng (karena tidak
seperti bisnis ponsel, jarang sekali kita melihat dummy ayam
goreng), lalu dengan index yaitu menunjukkan ayam goreng dengan
sebuah paha ayam dan garis-garis lengkung diatasnya yang mewakili sosok
ayam goreng (termasuk jarang pula menggunakan kepala atau cakar ayam,
untuk menghindari salah paham diartikan sebagai lambang partai atau
tanda tipe pondasi), yang terakhir dengan symbol yaitu
dengan kesepakatan bahwa bapak-bapak berjanggut putih dan berkacamata
adalah ayam goreng, dan bukannya santa clauss.
(Sebelum kita
lanjutkan, sekedar informasi, De saussure tidak benar-benar menggunakan
ayam goreng sebagai bagian dari teorinya, ini bisa-bisanya penulis
saja).
Maka berkembanglah
semiotika tata boga, dari sekedar meniru, menunjuk, hingga menyepakati.
Dan semuanya
dilakukan untuk mengirimkan sinyal dari mata menuju ke otak, untuk
kemudian dikirimkan ke lidah yang meneteskan air liur, di dukung hidung
yang mengolah wangi masakan, menjadi gerakan rotasi tangan kanan (dan
terkadang kiri juga, bila efeknya terlalu dahsyat) untuk menumpahkan
segala yang dihadapan mata, ke dalam mulut.
Malahan
seringpula lapar mata langsung lari ke perut secara sekonyong-konyong.
Namun, masih
ada misteri besar yang belum terpecahkan dalam semiotika tata boga,
tentang mang ibro (bukan nama sebenarnya) tukang baso ikan yang melukis
ikan hidup pada kaca dorongannya.
Atau (sebut
saja) bu kokom yang menggambar segala kepiting, udang, cumi hidup pada
dinding warung seafoodnya.
Sementara mas
sukimin (tidak ada kesamaan dengan mas sukimin yang asli) menggelar
spanduk warung ayam gorengnya berhias lukisan ayam jago hidup yang
gagah, yang menatap tajam ke depan, untuk kemudian balas ditatap dari
billboard pada sebuah restoran siap saji di seberang oleh kakek tua
berjanggut, berkacamata, yang bukan santa clauss, yang pada hakekatnya,
sesungguhnya mewakili masakan yang sama..
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar