Pendidikan Ilmu Hukum dalam Era Globalisasi
Masalah pembangunan dan penegakan hukum merupakan masalah yang tidak
pernah henti-hentinya dibicarakan, baik secara nasional maupun
internasional. Masalah ini akan selalu ada dan selalu patut untuk
dibicarakan, sepanjang kita masih mengakui adanya Negara Hukum,
sepanjang kita masih mempercayai hukum sebagai salah satu sarana untuk
mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah kehidupan bermasyarakat.
Terlebih dalam era reformasi saat ini wibawa hukum dan pemerintahan yang
bersih dan berwibawa sedang mendapat tantangan dan sorotan tajam. Ini
merupakan suatu indikasi telah terjadi krisis multidimensi menimpa
bangsa Indonesia, termasuk krisis moral di dalamnya.
Era reformasi (reformation) oleh sebagian masyarakat dimaknai sebagai era kebebasan yang menjurus tanpa batas, sehingga banyak di antaranya berperilaku bertentangan dengan moral dan norma-norma yang berlaku. Padahal, reformasi berarti perubahan untuk perbaikan diberbagai bidang (sosial, politik, hukum, dan lain-lain).
Berbagai kasus telah bermunculan, mulai dari kasus-kasus yang bersifat konvensional dan berskala kecil sampai kepada yang berskala besar, termasuk kasus-kasus yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi. Kasus pencurian, kejahatan terhadap tubuh dan jiwa manusia, korupsi, perjudian, penyalahgunaan narkoba, pornografi & pornoaksi, hingga kasus-kasus lainnya seperti; pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), perusakan lingkungan, mark up, illegal logging, money laundering, money politic, kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu (legilatif maupun eksekutif), dan sebagainya. Yang lebih parah adalah citra buruk Indonesia sebagai negara ke-3 terkorup di dunia dan ke-1 di Asia.
Era reformasi pada hakikatnya menuntut adanya peningkatan kualitas yang lebih baik, karena Reformasi adalah to reform mengandung arti “to make better, become better, change for the better, or return to a former good state.”
Strategi peningkatan kualitas pembangunan dan penegakan hukum di masa sekarang tentunya tidak dapat dilepaskan dari kondisi dan tuntutan reformasi saat ini. Kondisi ini tidak lepas dari pengalaman masa lalu yang lebih menitikberatkan pada pembangunan politik pada masa pemerintahan Orla (orde lama) dan pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orba (orde baru). Sehingga pada masa Orla “Politik sebagai Panglima”, sedangkan pada masa Orba “Ekonomi sebagai Panglima”, peranan hukum tersisihkan, akibatnya penegakan hukum menjadi lemah. Maka wajar apabila pada masa reformasi sekarang ini ada tuntutan untuk lebih mengutamakan “Hukum sebagai Panglima”. Kewajaran tuntutan ini seiring dengan maraknya tuntutan untuk menciptakan masyarakat madani (Civil Society) yang menghendaki adanya tatanan hukum dan penegakan hukum yang berkualitas.
Pendidikan tinggi hukum pun tidak luput mendapat sorotan atau keluhan dari masyarakat, dari pengguna lulusan, khususnya kalangan profesi, karena ada anggapan bahwa Sarjana Hukum yang baru lulus “tidak siap pakai” di berbagai lapangan pekerjaan, disamping itu kurang memiliki komitmen dan integritas (akhlak).
Dari paparan di atas, timbul pertanyaan; mengapa hal-hal seperti itu terjadi, apanya yang salah, bagaimanakah penegakan hukum selama ini? Dengan kata lain, ada apa dengan penegakan hukum kita?
Era reformasi (reformation) oleh sebagian masyarakat dimaknai sebagai era kebebasan yang menjurus tanpa batas, sehingga banyak di antaranya berperilaku bertentangan dengan moral dan norma-norma yang berlaku. Padahal, reformasi berarti perubahan untuk perbaikan diberbagai bidang (sosial, politik, hukum, dan lain-lain).
Berbagai kasus telah bermunculan, mulai dari kasus-kasus yang bersifat konvensional dan berskala kecil sampai kepada yang berskala besar, termasuk kasus-kasus yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi. Kasus pencurian, kejahatan terhadap tubuh dan jiwa manusia, korupsi, perjudian, penyalahgunaan narkoba, pornografi & pornoaksi, hingga kasus-kasus lainnya seperti; pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), perusakan lingkungan, mark up, illegal logging, money laundering, money politic, kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu (legilatif maupun eksekutif), dan sebagainya. Yang lebih parah adalah citra buruk Indonesia sebagai negara ke-3 terkorup di dunia dan ke-1 di Asia.
Era reformasi pada hakikatnya menuntut adanya peningkatan kualitas yang lebih baik, karena Reformasi adalah to reform mengandung arti “to make better, become better, change for the better, or return to a former good state.”
Strategi peningkatan kualitas pembangunan dan penegakan hukum di masa sekarang tentunya tidak dapat dilepaskan dari kondisi dan tuntutan reformasi saat ini. Kondisi ini tidak lepas dari pengalaman masa lalu yang lebih menitikberatkan pada pembangunan politik pada masa pemerintahan Orla (orde lama) dan pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orba (orde baru). Sehingga pada masa Orla “Politik sebagai Panglima”, sedangkan pada masa Orba “Ekonomi sebagai Panglima”, peranan hukum tersisihkan, akibatnya penegakan hukum menjadi lemah. Maka wajar apabila pada masa reformasi sekarang ini ada tuntutan untuk lebih mengutamakan “Hukum sebagai Panglima”. Kewajaran tuntutan ini seiring dengan maraknya tuntutan untuk menciptakan masyarakat madani (Civil Society) yang menghendaki adanya tatanan hukum dan penegakan hukum yang berkualitas.
Pendidikan tinggi hukum pun tidak luput mendapat sorotan atau keluhan dari masyarakat, dari pengguna lulusan, khususnya kalangan profesi, karena ada anggapan bahwa Sarjana Hukum yang baru lulus “tidak siap pakai” di berbagai lapangan pekerjaan, disamping itu kurang memiliki komitmen dan integritas (akhlak).
Dari paparan di atas, timbul pertanyaan; mengapa hal-hal seperti itu terjadi, apanya yang salah, bagaimanakah penegakan hukum selama ini? Dengan kata lain, ada apa dengan penegakan hukum kita?
Tantangan Dan Peluang Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan kualitas pembangunan dan penegakan hukum adalah kualitas individu atau Sumber Daya Manusia (SDM, Human Resources), sehingga wajar apabila lembaga pendidikan lebih menekankan perhatian pada masalah kualitas SDM yang menjadi sumber utama dari proses pembangunan dan penegakan hukum. Kualitas SDM inilah acapkali menjadi sorotan tajam di era reformasi. Kualitas SDM tentunya terkait erat dengan kualitas pendidikan tinggi hukum yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, dilihat dari segi pendidikan, upaya peningkatan kualitas penegakan hukum saat ini menuntut pentingnya reevaluasi, reorientasi dan reformasi di bidang pendidikan tinggi hukum.
Pendidikan tinggi hukum sebagai bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha pembentukan manusia dan masyarakat Indonesia yang berbudaya dan berkualitas. Perguruan tinggi hukum tidak dapat dilepaskan dari esensi tujuan penegakan hukum. Khususnya dalam negara hukum yang berideologi Pancasila, maka hukum yang ingin ditegakan ialah hukum yang diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang berperikemanusiaan, yang welas asih dan berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui hukum ingin diciptakan suatu masyarakat demokratis yang berkeadilan sosial berdasarkan pada moralitas yang bersumber dari etika religius (Illahiah).
Hukum yang mengandung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kepercayaan, kepastian dan kewibawaan, hanya dapat diwujudkan dari orang-orang yang mempunyai kualitas dan integritas tinggi dalam menghayati nilai-nilai tersebut. Kebenaran tidak dapat terwujud jika nilai kebenaran yang hakiki kurang dihayati, yaitu kebenaran dari hati nurani (Nur Illahi). Ketidak percayaan masyarakat akan timbul dan kewibawaan hukum akan menurun bahkan rusak. Masyarakat melihat kenyataan, bahwa pengemban hukum (aparat) dan orang-orang yang terlibat dalam masalah-masalah hukum justru melakukan ketidakbenaran atau melakukan perbuatan tercela. Oleh karena itu menegakan wibawa hukum pada hakikatnya menegakan nilai kepercayaan di masyarakat.
Di masa sekarang, kualitas ideal seorang Sarjana Hukum yang dituntut oleh masyarakat bukan sekedar memiliki kualitas intelektual (knowledge/cognitive) dan kualitas keterampilan (skill/sensori-motor) yang tinggi, tetapi juga memiliki kualitas akhlak yang luhur (attitude/affective).
Bertolak dari tuntutan masyarakat, maka metode dan proses pendidikan hukum tentunya tidak hanya menekankan kepada kualitas penguasaan norma hukum substantif dan kualitas kemahiran hukum saja, tetapi juga harus menekankan pada kualitas sikap, hati nurani, dan nilai-nilai kesusilaan. Dengan perkataan lain, pendidikan hukum harus mengandung keseimbangan antara ilmu tentang nilai dengan ilmu tentang norma untuk mengahadapi tantangan global.
Tantangan global yang dihadapi oleh pendidikan tinggi hukum dan Sarjana Hukum saat ini, yaitu :
1. Di abad 21 perkembangan industri di kawasan Asia Pasifik semakin pesat, dengan memperhatikan perkembangan ini maka peranan hukum sangat menentukan (strategis).
2. Masuknya SDM asing ke Indonesia, sehingga penilaian prestasi kerja tidak lagi berdasarkan kepada ijazah lulusan atau simbol-simbol lainnya. Oleh karena itu, pengembangan SDM sangat mendesak untuk dilakukan.
3. Masuknya pengaruh sistem hukum asing ke dalam sistem hukum nasional, menyebabkan Indonesia perlu menata kembali sistem hukum Nasional. Oleh karena itu peranan pendidikan tinggi hukum semakin dirasakan menentukan dan strategis.
Standar kompetensi seorang Sarjana Hukum adalah “Memiliki Kemampuan Untuk Mengembangkan Wawasan Akademik (Keilmuan) dan Kemampuan Profesional (Praktisi)”, yang meliputi :
1. Mengetahui pengetahuan dasar untuk bekerja secara kritis dan analisis.
2. Menguasai kemahiran dasar untuk melakukan pekerjaan dalam bidang ilmu hukum.
3. Mempunyai kepribadian yang berlandaskan etika, akhlak, dan budaya bangsa.
4. Mampu menyelesaikan masalah-masalah hukum yang berkembang di masyarakat.
5. Pemanfaatan hukum secara aktif dan kreatif dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai perwujudan ide dasar atau kebijakan di atas maka pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi hukum telah menerapkan krikulum ilmu hukum berbasis kompetensi yang terdiri dari :
1. Kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MKPK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, mandiri dan bertanggung jawab.
2. Kelompok mata kuliah keilmuan dan ketrampilan hukum (MKKK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang ditujukan terutama untuk memberikan landasan penguasaan ilmu hukum dan ketrampilan hukum.
3. Kelompok mata kuliah keahlian berkarya (MKKB) adalah kelompok bahan kajian yang diperlukan untuk dapat memahami kaidah kehidupan bermasyarakat sesuai keahlian dalam berkarya.
4. Kelompok mata kuliah perilaku berkarya (MPBR) adalah kelompok bahan kajian nilai-nilai moral dan etika dalam berkarya.
5. Kelompok mata kuliah wajib institusi (MWSP) adalah kelompok bahan kajian penunjang dan pendalaman MKPK, MKKK, MKKB, dan MPBR.
6. Kelompok mata kuliah program kekhususan adalah kelompok bahan kajian program yang sesuai dan diminati oleh mahasiswa. Mahasiswa dapat memilih salah satu dari program kekhususan yang disediakan, yaitu :
a. Program kekhususan tentang Keluarga dan Ekonomi.
b. Program kekhususan tentang Kebijakan Pidana.
c. Program kekhususan tentang Pemerintahan.
7. Kelompok mata kuliah pilihan program studi (MPPS) adalah kelompok bahan kajian pilihan yang dapat diambil sesuai dengan minat program kekhususan yang telah dipilih.
Pendidikan diselenggarakan dengan Sistem Kredit Semester (SKS), jumlah kredit yang ditawarkan adalah 150 satuan kredit semester (sks), dan lama studi antara 8 semester sampai dengan 14 semester (maksimal).
Dengan melalui proses pendidikan hukum yang integral itu diharapkan ada keseimbangan antara proses pembentukan Sarjana Hukum yang homo juridicus dan sebagai homo ethicus, gabungan keduanya akan membentuk Sarjana Hukum yang cukup berpengetahuan dan berakhlak untuk turut serta menegakan hukum di era global.
Dengan demikian, maka penegakan hukum yang diperlukan oleh masyarakat adalah melakukan penegakan seluruh norma/tatanan kehidupan bermasyarakat. Tentunya hal ini membawa konsekuensi, bahwa upaya peningkatan kualitas pembangunan dan penegakan hukum tidak semata-mata menjadi tanggung jawab para aparat penegak hukum saja, lembaga pengadilan dan lembaga pendidikan tinggi hukum, tetapi juga seyogyanya menjadi perhatian dan tanggung jawab semua pemegang peran di semua bidang kehidupan (pemerintahan, politik, ekonomi, hukum, perdagangan, perbankan, pertahanan- keamanan, dan sebagainya.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan kualitas pembangunan dan penegakan hukum adalah kualitas individu atau Sumber Daya Manusia (SDM, Human Resources), sehingga wajar apabila lembaga pendidikan lebih menekankan perhatian pada masalah kualitas SDM yang menjadi sumber utama dari proses pembangunan dan penegakan hukum. Kualitas SDM inilah acapkali menjadi sorotan tajam di era reformasi. Kualitas SDM tentunya terkait erat dengan kualitas pendidikan tinggi hukum yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, dilihat dari segi pendidikan, upaya peningkatan kualitas penegakan hukum saat ini menuntut pentingnya reevaluasi, reorientasi dan reformasi di bidang pendidikan tinggi hukum.
Pendidikan tinggi hukum sebagai bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha pembentukan manusia dan masyarakat Indonesia yang berbudaya dan berkualitas. Perguruan tinggi hukum tidak dapat dilepaskan dari esensi tujuan penegakan hukum. Khususnya dalam negara hukum yang berideologi Pancasila, maka hukum yang ingin ditegakan ialah hukum yang diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang berperikemanusiaan, yang welas asih dan berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui hukum ingin diciptakan suatu masyarakat demokratis yang berkeadilan sosial berdasarkan pada moralitas yang bersumber dari etika religius (Illahiah).
Hukum yang mengandung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kepercayaan, kepastian dan kewibawaan, hanya dapat diwujudkan dari orang-orang yang mempunyai kualitas dan integritas tinggi dalam menghayati nilai-nilai tersebut. Kebenaran tidak dapat terwujud jika nilai kebenaran yang hakiki kurang dihayati, yaitu kebenaran dari hati nurani (Nur Illahi). Ketidak percayaan masyarakat akan timbul dan kewibawaan hukum akan menurun bahkan rusak. Masyarakat melihat kenyataan, bahwa pengemban hukum (aparat) dan orang-orang yang terlibat dalam masalah-masalah hukum justru melakukan ketidakbenaran atau melakukan perbuatan tercela. Oleh karena itu menegakan wibawa hukum pada hakikatnya menegakan nilai kepercayaan di masyarakat.
Di masa sekarang, kualitas ideal seorang Sarjana Hukum yang dituntut oleh masyarakat bukan sekedar memiliki kualitas intelektual (knowledge/cognitive) dan kualitas keterampilan (skill/sensori-motor) yang tinggi, tetapi juga memiliki kualitas akhlak yang luhur (attitude/affective).
Bertolak dari tuntutan masyarakat, maka metode dan proses pendidikan hukum tentunya tidak hanya menekankan kepada kualitas penguasaan norma hukum substantif dan kualitas kemahiran hukum saja, tetapi juga harus menekankan pada kualitas sikap, hati nurani, dan nilai-nilai kesusilaan. Dengan perkataan lain, pendidikan hukum harus mengandung keseimbangan antara ilmu tentang nilai dengan ilmu tentang norma untuk mengahadapi tantangan global.
Tantangan global yang dihadapi oleh pendidikan tinggi hukum dan Sarjana Hukum saat ini, yaitu :
1. Di abad 21 perkembangan industri di kawasan Asia Pasifik semakin pesat, dengan memperhatikan perkembangan ini maka peranan hukum sangat menentukan (strategis).
2. Masuknya SDM asing ke Indonesia, sehingga penilaian prestasi kerja tidak lagi berdasarkan kepada ijazah lulusan atau simbol-simbol lainnya. Oleh karena itu, pengembangan SDM sangat mendesak untuk dilakukan.
3. Masuknya pengaruh sistem hukum asing ke dalam sistem hukum nasional, menyebabkan Indonesia perlu menata kembali sistem hukum Nasional. Oleh karena itu peranan pendidikan tinggi hukum semakin dirasakan menentukan dan strategis.
Standar kompetensi seorang Sarjana Hukum adalah “Memiliki Kemampuan Untuk Mengembangkan Wawasan Akademik (Keilmuan) dan Kemampuan Profesional (Praktisi)”, yang meliputi :
1. Mengetahui pengetahuan dasar untuk bekerja secara kritis dan analisis.
2. Menguasai kemahiran dasar untuk melakukan pekerjaan dalam bidang ilmu hukum.
3. Mempunyai kepribadian yang berlandaskan etika, akhlak, dan budaya bangsa.
4. Mampu menyelesaikan masalah-masalah hukum yang berkembang di masyarakat.
5. Pemanfaatan hukum secara aktif dan kreatif dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai perwujudan ide dasar atau kebijakan di atas maka pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi hukum telah menerapkan krikulum ilmu hukum berbasis kompetensi yang terdiri dari :
1. Kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian (MKPK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, mandiri dan bertanggung jawab.
2. Kelompok mata kuliah keilmuan dan ketrampilan hukum (MKKK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang ditujukan terutama untuk memberikan landasan penguasaan ilmu hukum dan ketrampilan hukum.
3. Kelompok mata kuliah keahlian berkarya (MKKB) adalah kelompok bahan kajian yang diperlukan untuk dapat memahami kaidah kehidupan bermasyarakat sesuai keahlian dalam berkarya.
4. Kelompok mata kuliah perilaku berkarya (MPBR) adalah kelompok bahan kajian nilai-nilai moral dan etika dalam berkarya.
5. Kelompok mata kuliah wajib institusi (MWSP) adalah kelompok bahan kajian penunjang dan pendalaman MKPK, MKKK, MKKB, dan MPBR.
6. Kelompok mata kuliah program kekhususan adalah kelompok bahan kajian program yang sesuai dan diminati oleh mahasiswa. Mahasiswa dapat memilih salah satu dari program kekhususan yang disediakan, yaitu :
a. Program kekhususan tentang Keluarga dan Ekonomi.
b. Program kekhususan tentang Kebijakan Pidana.
c. Program kekhususan tentang Pemerintahan.
7. Kelompok mata kuliah pilihan program studi (MPPS) adalah kelompok bahan kajian pilihan yang dapat diambil sesuai dengan minat program kekhususan yang telah dipilih.
Pendidikan diselenggarakan dengan Sistem Kredit Semester (SKS), jumlah kredit yang ditawarkan adalah 150 satuan kredit semester (sks), dan lama studi antara 8 semester sampai dengan 14 semester (maksimal).
Dengan melalui proses pendidikan hukum yang integral itu diharapkan ada keseimbangan antara proses pembentukan Sarjana Hukum yang homo juridicus dan sebagai homo ethicus, gabungan keduanya akan membentuk Sarjana Hukum yang cukup berpengetahuan dan berakhlak untuk turut serta menegakan hukum di era global.
Dengan demikian, maka penegakan hukum yang diperlukan oleh masyarakat adalah melakukan penegakan seluruh norma/tatanan kehidupan bermasyarakat. Tentunya hal ini membawa konsekuensi, bahwa upaya peningkatan kualitas pembangunan dan penegakan hukum tidak semata-mata menjadi tanggung jawab para aparat penegak hukum saja, lembaga pengadilan dan lembaga pendidikan tinggi hukum, tetapi juga seyogyanya menjadi perhatian dan tanggung jawab semua pemegang peran di semua bidang kehidupan (pemerintahan, politik, ekonomi, hukum, perdagangan, perbankan, pertahanan- keamanan, dan sebagainya.
Ilmu Hukum sebagai “ilmu pengetahuan mengenai hubungan masyarakat yang normatif” sedang menghadapi tantangan. Oleh karena itu setiap lembaga Pendidikan Tinggi Hukum dituntut berperan untuk menyiapkan SDM untuk penegakan hukum yang berkualitas dan penyelenggara pemerintahan yang berkualitas, bersih dan berwibawa. Disamping itu juga Perguruan Tinggi Hukum penting mengembangkan Hukum Indonesia yang berkualitas.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar