Istilah Al I’jaz Al ‘Ilmiy (kemukjizatan
ilmiah) Al Qur’an mengandung makna bahwa sumber ajaran agama
tersebut telah mengabarkan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah yang
kelak ditemukan dan dibuktikan oleh eksperimen sains umat manusia, dan
terbukti tidak dapat dicapai atau diketahui dengan sarana kehidupan yang
ada pada jaman Rasulullah saw.
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam Al
Qur’an dan alam raya dipadukan melalui mukjizat Al Qur’an (yang lebih
dahulu daripada temuan ilmiah) dengan mukjizat alam raya yang
menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan
mukjizat yang lain agar keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang
yang mempunyai akal dan hati bersih atau orang yang mau mendengar.
Beberapa dalil kuat telah membuktikan bahwa Al Qur’an tidak mungkin
datang, kecuali dari Allah. Buktinya tidak adanya pertentangan diantara
ayat-ayatnya, bahkan sistem yang rapi dan cermat yang terdapat di alam
raya ini juga tidak mungkin terjadi, kecuali dengan kehendak Allah yang
menciptakan segala sesuatu dengan cermat.
Syeikh Abdul Majid Az-Zindani, mengulas
tentang mukjizat ilmiah dalam Al Qur’an “…Yaitu
ilmu uji kaji modern datang dan mendalami
kajian-kajian yang luas di dalam pelbagai bidang, dengan bantuan
alat-alat yang canggih, dan setelah beberapa pengembaraan yang
menjabarkan berserta seangkatan pengkaji, terbentuklah satu bahagian di
samping satu bahagian (yang lain) dan apabila fakta tersebut telah siap
sempurna, tiba-tiba didapati ianya telah pun dinyatakan di dalam kitab
Allah (Al-Quran) sebelum 1400 tahun [yang lalu]. Lalu orang ramai pun
mendapat tahu bahawa Al-Quran ini diturunkan dengan ilmu Allah, dan
bukannya [datang] dari sisi seorang utusan yang [berada] di zaman ..
sebelum 1400 tahun di hari yang tidak ada sebarang perkakas kajian
saintifik atau peralatan kajian ..”
Dalam buku At Tafkir Faridhah Islamiyah
(berpikir sebuah kewajiban Islam), Abbas Mahmud Aqqad menyebutkan dua
macam mukjizat yang harus dibedakan, yang pertama mukjizat yang mengarah
ke akal, dapat ditemukan oleh siapapun yang ingin mencarinya, mukjizat
ini adalah keteraturan gejala-gejala alam dan kehidupan yang tidak
berubah.
“….
Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah
Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi
sunnah Allah itu” (Surat Fathir : 43).
Yang
kedua adalah mukjizat yang berupa segala sesuatu diluar kebiasaan.
Mukjizat ini membuat akal manusia tercengang dan memaksanya untuk tunduk
dan menyerah.
Hal yang dapat kita jadikan i’tibar
dalam mukjizat ilmiah pada Al Qur’an adalah motivasi/dorongan yang kuat
bagi manusia dalam perkembangan sains. Allah Ta’ala berfirman :
“Ini
adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad : 29)
Dalam
ayat lain,
“(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah
kami dari siksa neraka’.” (QS. Ali Imran : 191)
Dari sini pula dengan mengkaji mukjizat ilmiah
dalam Al Qur’an mampu menumbuhkan keimanan dan rasa syukur pada Allah
sebagaimana pernah disampaikan oleh Prof. Abdul Karim Al Khathib,
“Mukjizat Al Qur’an terletak pada kepioniran dalam menyatakan hal-hal
yang baru saja ditemukan oleh penilitian ilmiah”.
Kemudian Prof. Al Khathib menerangkan, “Maksud
utama kami dalam menganalisis mukjizat Qur’ani adalah menciptakan
hubungan yang erat dengan kitab Allah dalam hati seorang muslim. Kami
ingin menanamkan iman terhadap Kitab Allah berdasarkan pengetahuan,
pemahaman dan perasaan yang murni terhadap ayat-ayat dan
kalimat-kalimatNya.
Meskipun demikian, kami menemukan
isyarat-isyarat Al Qur’an yang bersifat ilmiah. Hal ini mendapatkan
perhatian yang sangat besar dari kalangan para peneliti Eropa. Karena,
isyarat yang dikandung Al Qur’an sejak lima belas abad yang lalu
ditemukan dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan modern sekarang.
Meskipun telah banyak bukti-bukti ilmiah
tentang kebenaran Al Qur’an, para pemuja materialisme, para sekuler dan
para ateis, tentu saja masih terus membantah kebenaran-kebenaran Al
Qur’an karena ketakutan akan implikasi mengakui keberadaan Sang
Pencipta. Selain itu, mereka selalu melakukan pembenarannya atas
bukti-bukti logika (baca: matematis, empiris, biologis, sosiologis)
sebagai dasar pijakan postulatnya.
Menurut Muhammad Kamil Abdush Shamad,
tujuan dari kajian mukjizat ilmiah Al Qur’an adalah untuk meluaskan
cakupan hakikat dari ayat-ayat Al Qur’an, kemudian memperdalam
makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga mengakar dalam jiwa dan
pemikiran manusia dengan cara mengambil hikmah dari eksplorasi keilmuan
kotemporer yang tercakup dalam makna-maknanya. Sedangkan menurut
Ibrahim Muhammad Sirsin,
bertujuan memperdalam makna-makna melalui proses analisis terhadap
variabel-variabel yang detail. Juga melalui perbandingan mendalam
terhadap kritikan para pakar yang profesional di bidangnya serta para
peneliti alam dan kehidupan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Kita juga tidak boleh memasukkan dan
memaksakan asumsi dan hipotesis ilmiah yang masih berupa bahan
perdebatan dan masih diuji diantara para pakar. Karenanya, tidak pantas
orang yang mengadopsi asumsi-asumsi ini berusaha memaksakan Al-Qur’an
untuk menguatkan teorinya. Sebab, bisa jadi asumsi dan teori mentah itu
nanti terbukti tidak benar, lalu akhirnya mengkambinghitamkan Al-Qur’an
Namun hal ini dapat dijelaskan dalam kerangka bahwa:
1.
Tidak ada kontradiksi antara
hakikat ilmu pengetahuan dengan hakikat Al Qur’an karena berasal dari
satu sumber.
2.
Tafsir ilmu tidak akan
mempengaruhi originalitas karena nash tidak mengalami perubahan sesuai
teks aslinya. Tafsiran yang diberikan yang akan disalahkan.
Sebagaimana ditulis oleh
Muhammad Mutawalli Asy Sya’rawi dalam kitab Mu’jizah Al Qur’an,
dikarenakan Al Qur’an adalah mukjizat maka nashnya harus tetap dan
tidak berubah-ubah, kalau tidak maka hilanglah mukjizatnya.
Oleh karena itu, kalau nash tidak secara tegas
menunjukkan pada salah satu teori ilmu sains, maka tidak selayaknya
bagi kita untuk memaksakannya, baik untuk menetapkan maupun untuk
menafikkan. Karena itu kita harus mencari ilmu dari jalannya
masing-masing, ilmu astronomi didapatkan dari penelitian, ilmu
kedokteran didapat dari hipotesis dan uji coba. Dengan demikian, niscaya
Al Qur’an akan selalu terjaga, tidak dipergunakan untuk memperdebatkan
teori ini, yang mana semua teori ini bisa diterima juga bisa ditolak
serta bisa pula diganti, sebagaimana juga tidak layak bagi seseorang
yang tidak mengetahui hakikat ilmu tertentu untuk menolak mentah-mentah
selagi tidak secara tegas bertentangan dengan nash yang shorih.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kesalahan
pada manusia dalam menulis kitab bisa saja terjadi, seperti apa yang
telah dikatakan oleh Al Qodhi Al Fadhil Abdur Rahim bin Ali Al Baisani, “
Saya melihat bahwasanya tidak ada seorangpun yang menulis sebuah kitab
kecuali besoknya dia akan berkata : ‘Seandainya tempat ini diubah
niscaya akan lebih baik, seandainya ditambah dengan begini maka akan
lebih bagus, seandainya ini dikedepankan niscaya akan lebih utama, dan
seandainya yang ini dibuang niscaya akan lebih indah.’ Ini semua adalah
dasar yang paling kuat bahwa manusia adalah makhluk yang serba kurang.”
Dari sisi lain bahwa pemahaman baru terhadap
ayat itu tidak boleh membatalkan pemahaman lama. Dengan ungkapan lain,
kita tidak layak menuduh umat sejak jaman sahabat, bahkan sejak jaman
Nabi saw, salah dalam memahami satu ayat, kemudian mengklaim bahwa yang
benar adalah pemahaman yang dimiliki si penafsir baru itu. Selayaknya
dikatakan, makna baru ini merupakan tambahan yang digabungkan dengan
pemahaman lama, dan bukan membatalkannya. Sebab diantara keistimewaan
Al-Qur’an, keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis tergali.
Kemukjizatan ilmu pada Al Qur’an memang tidak
memposisikan Al Qur’an sebagai kitab sains. Namun dapat memberikan
isyarat untuk melakukan kajian lebih jauh terhadap pengembangan sains,
sebagaimana dalam Al Qur’an :
“(beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil).…” (QS. Al Baqarah : 143)
Isyarat ilmiah dalam Al Qur’an mengandung
prinsip-prinsip/kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan di setiap jaman dan
kebudayaan.
Hal ini membawa maksud bahwa :
- Ayat
yang memberikan isyarat tidak harus terperinci, sehingga para ilmuwan
bisa mengkajinya atau memperinci dengan melakukan penelitian.
- Mukjizat
ilmiah Al Qur’an tidak hanya untuk waktu tertentu saja yaitu ketika
terjadi penentangan, namun berlaku juga ke masa yang akan datang,
seperti yang dijelaskan dalam Surat Fushshilat : 53
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.
Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu?”
Pada satu
masa beberapa mukjizat dirasa kurang masuk akal atau bertentangan dengan
nalar dan logika. Tetapi kapasitas nalar dan intelektual yang dimiliki
tidaklah sama, tergantung pada daya pikir seseorang.
Dapat disimpulkan bahwa mukjizat ilmiah pada Al
Quran dapat memperkuat keimanan terhadap Al Qur’an sebagai wahyu Allah.
Kalaupun terdapat pertentangan sesungguhnya lebih terletak pada
jangkauan penafsiran atau teknologi yang mendukung eksplorasi sains.
Dari pendekatan arah yang lain mukjizat ilmiah yang ada pada Al Qur’an
dapat memberikan motivasi dan memberikan isyarat bagi pengembangan
sains.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar