Sejarah Pembukuan Al-Qur’an
i. Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah ayat Al-Qur’an yang turun dihafal oleh beliau
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya” (QS Al-Qiyamah [75] : 17-18). Oleh karena
itu beliau merupakan hafidz (penghafal) Al-Qur’an yang pertama dan maha
guru pemberi contoh panutan paling baik bagi para sahabat dalam
menghafalnya. Dalam sahih Bukhary dalam tiga riwayat disebutkan ada
tujuh hafidz dari kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an, yaitu :
1. Abdullah bin Mas’ud
2. Salim Bin Ma’qal maula Abu Huzaifah.
3. Mu’az Bin Jabal.
4. Ubay Bin Ka’ab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Zaid Bin Sakan.
7. Abu Darda’.
2. Salim Bin Ma’qal maula Abu Huzaifah.
3. Mu’az Bin Jabal.
4. Ubay Bin Ka’ab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Zaid Bin Sakan.
7. Abu Darda’.
Ke-tujuh penghafal Al-Qur’an diatas adalah para sahabat yang hafal
Al-Qur’an diluar kepala yang menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi dan
sanadnya sampai kepada kita melalui riwayat Bukhary. Sedangkan
kenyataannya setelah Rasulullah wafat, jumlah penghafal (hafidz)
Al-Qur’an dikalangan sahabat terus bertambah. Untuk melukiskan hal itu
dapat diketahui dari keterangan Al-Qurtubi : “Telah terbunuh tujuh puluh
orang qari’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa Nabi
sejumlah itu dalam peristiwa pembunuhan di sumur Maa’unah”.
Rasulullah telah mengangkat beberapa penulis Al-Qur’an dari
sahabat-sahabat terkemuka, seperti : Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah Bin
Abi Sufyan, Ubay Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Bila ayat Al-Qur’an
turun beliau memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat
ayat tersebut didalam surat, sehingga penulisan pada lembaran itu
membantu penghafalan didalam hati (diluar kepala). Disamping itu
sebagian sahabat menuliskan ayat Al-Qur’an yang turun itu dengan kemauan
sendiri tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskan ayat Al-Qur’an
pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit binatang atau
kulit kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Dalam Al
Mustadrak, Hakim meriwayatkan bahwa Zaid Bin Tsabit berkata : “kami
menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an pada kulit binatang” (sanad sahih menurut
syarat Bukhary dan Muslim).
Pada masa Rasulullah Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf,
karena pada masa kenabian wahyu masih turun dan Rasulullah masih selalu
menanti turunnya ayat Al-Qur’an, disamping itu terkadang pula terdapat
ayat yang nasikh (dihapus). Susunan atau tertib penulisan Al-Qur’an itu
tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat turun dituliskan
ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi, yaitu beliau menjelaskan
bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Al-Khattabi berkata :
“Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf karena beliau
senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau
bacaannya”.
ii. Masa Khalifah Abu Bakar Shidiq ra.
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah. Saat
itu hampir seluruh kabilah-kabilah Arab kembali murtad dan sebagian
membangkang menolak membayar zakat, karena mereka mengira kekuatan Islam
sudah pudar setelah meninggalnya Rasulullah. Untuk mengatasi kemurtadan
dan pembangkangan khabilah-khabilah Arab itu Khalifah Abu Bakar
mengirimkan pasukan untuk menundukkan mereka dan menyeru kembali kepada
Islam yang dikenal sebagai “perang ridah”.
Disamping itu di daerah Yamamah –Arab Selatan- muncul Musailamah
Al-Khazab –sang pendusta- yang mengaku sebagai nabi. Khalifah Abu Bakar
memeranginya yang dikenal sebagai “perang Yamamah”. Pada berbagai
peperangan-peperangan tersebut banyak qari dan pengahafal Al-Qur’an dari
kalangan sahabat nabi yang gugur. Umar Bin Khattab yang merupakan
penasehat utama Khalifah Abu Bakar merasa khawatir Al-Qur’an akan punah
bersama banyaknya qari yang gugur tersebut. Umar Bin Khattab mengusulkan
agar Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf.
Mula-mula Khalifah Abu Bakar menolak usulan itu dengan alasan hal itu
tidak dilakukan oleh Rasulullah dan hal itu tidak diperintahkan oleh
Rasulullah. Tetapi Umar terus membujuk Khalifah Abu Bakar tentang
perlunya pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf, sehingga Allah
membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan umar tersebut. Khalifah
Abu Bakar kemudian memanggil Zaid Bin Tsabit dan memerintahkannya untuk
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Zaid Bin Tsabit berkata : “Mengapa anda berdua ingin melakukan
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ?” Abu Bakar
menjawab : “Demi Allah, itu baik”, Abu Bakar terus membujukku sehingga
Allah membukakan hatiku”.
Maka Zaid Bin Tsabit mulai bekerja mengumpulkan tulisan manuskrip
Al-Qur’an dengan sangat teliti dan hati-hati. Zaid Bin Tsabit meneliti
hafalan pemilik catatan Al-Qur’an dan mensyaratkan harus ada 2 orang
saksi yang menyaksikan bahwa tulisan manuskrip Al-Qur’an itu ditulis
dihadapan Rasulullah, padahal Zaid Bin Tsabit sendiri sudah hafal
seluruh Al-Qur’an diluar kepala. Dengan kerja keras, teliti dan
hati-hati akhirnya seluruh Al-Qur’an berhasil dikumpulkan dalam satu
mushaf dengan “tujuh huruf”.
Setelah Abu Bakar wafat, Mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah
penggantinya yaitu Umar Bin Khattab. Setelah Khalifah Umar meninggal,
Mushaf tersebut disimpan oleh Hafsah Binti Umar.
Masa Khalifah Usman Bin Affan ra.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar kaum muslimin
telah melakukan penaklukan ke negeri-negeri diluar jazirah Arab seperti,
Syam, Iraq, Persia dan Mesir. Pada masa Khalifah Usman penaklukan masih
terus berlangsung.
Ketika terjadi perang penaklukan Armenia dan Azerbaijan, diantara
mujahidin yang ikut menyerbu itu adalah sahabat nabi Huzaifah Bin
Al-Yaman. Beliau melihat banyak perbedaan diantara pasukan kaum muslimin
dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan
kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan bersikukuh berpegang
pada bacaannya masing-masing dan bahkan sempat saling berselisih dan
saling mengkafirkan.
Riwayat dari Anas, Huzaifah berkata kepada Usman : “Selamatkanlah
umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (masalah kitab suci)
sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani”.
Atsar dari Abu Qalabah berkata : “Pada masa kekhalifahan Usman telah
terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat kepada seseorang dan guru
yang lain juga mengajarkan qiraat yang berbeda kepada anak yang lain.
Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat ini pada suatu ketika bertemu
dan berselisih dan hal itu menjalar juga sampai kepada guru-guru
mereka”. Hal itu akhirnya sampai terdengar kepada Khalifah Usman, maka
ia berpidato : “Kalian yang ada dihadapanku teah berselisih paham dan
salah dalam membaca Al-Qur’an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih
besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai
sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf
pedoman) saja !”.
Khalifah Usman kemudian meminjam mushaf yang ada pada Hafsah binti
Umar dan memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa’id Bin
Ash dan Abdurrahman Bin Haris untuk menyalinnya. Usman berkata kepada
ketiga orang Quraisy itu : “Bila kalian berselisih pendapat dengan Zaid
Bin Tsabit tentang sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan logat
Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy”. Merekapun
bekerja menyalin Mushaf Abu Bakar menjadi beberapa mushaf. Setelah
mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Khalifah Usman
mengembalikan mushaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya Khalifah Usman
mengirimkan kesetiap wilayah, masing-masing satu mushaf dan
memerintahkan agar semua manuskrip Al-Qur’an yang lainnya dibakar.
Ketika penyalinan mushaf telah selesai, Khalifah Usman menulis surat
kepada semua penduduk daerah yang isinya : “Aku telah melakukan yang
demikian dan demikian. Aku telah menghapus apa yang ada padaku, maka
hapuskanlah apa yang ada padamu”.
Uraian diatas menunjukkan bahwa penyalinan mushaf pada masa Khalifah
Usman ditulis dengan “satu huruf” yaitu sesuai dengan dialek Quraisy dan
meninggalkan “enam huruf” yang lainnya, hal itu untuk keseragaman dan
menghindari perselisihan. Mushaf Usmani inilah yang kemudian dinukil
turun temurun secara mutawatir sampai kepada kita sekarang ini.
Tertib Ayat dan Surah
Tertib susunan ayat Al-Qur’an menurut jumhur adalah taufiqi
(ketentuan dari Allah) bukan ijtihadi Rasulullah atau para penyusun
Mushaf Al Qur’an. As Suyuthi berkata : “Jibril menurunkan beberapa ayat
kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu
harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu
Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya
di tempat tersebut. Beliau mengatakan kepada mereka : “Letakkanlah
ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini,”
atau “Letakkanlah ayat ini ditempat anu.”
Mengenai tertib susunan surah, beberapa sahabat nabi ada yang
mempunyai mushaf pribadi yang berbeda tertib susunan surahnya dengan
tertib surah mushaf Usmani. Mushaf Ali disusun berdasarkan urutan
nuzulnya, Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dari surah Al-Baqarah tanpa surah
Al-Falaq dan An-Naas. Mushaf Ubay Bin Ka’ab dimulai Al-Fatihah, An-Nisa’
kemudian Ali-‘Imran, namun demikian Mushaf pribadi sebagian sahabat
tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Tertib susunan surah yang disepakati dan umat sudah Ijma’ (sepakat)
adalah tertib susunan surah mushaf Usman yang dikerjakan secara resmi
oleh panitia khusus yang terdiri dari beberapa sahabat nabi pilihan.
Tentang tertib susunan surah Al-Qur’an, jumhur ulama mengatakan bahwa
tertib susunannya adalah taufiqi.
Al-Kirmani dalam kitab Al-Burhan mengatakan : “Tertib surah seperti
yang kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauhful Mahfud,
Al-Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi
membacakan dihadapan Malakikat Jibril setiap tahun di bulan Ramadhan apa
yang telah dikumpulkannya dari Jibril itu. Pada tahun ke wafatannya
Nabi membacakannya dihadapan Jibril dua kali.
As-Suyuthi mengatakan tertib susunan surah Al-Qur’an itu taufiqi
kecuali surah Al-Anfal dan At-Taubah, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas :
“Aku bertanya kepada Usman : ‘Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal
yang termasuk katagori masani dan Bara’ah (At-Taubah) yang termasuk
mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan
diantara keduanya Bismillahirrahmaanirrahim, dan kamu pun meletakaannya
pada as-sab’ut tiwal (tujuh surat panjang) ?’, Usman menjawab : ‘Telah
turun kepada Rasulullah surah-surah yang yang mempunyai bilangan ayat.
Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa penulis wahyu dan
mengatakan : ‘Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya terdapat
ayat anu dan anu.’ Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di
Madinah sedang surah Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah
dalam surah Anfal serupa dengan kisah dalam surah Bara’ah, sehingga aku
mengirabahwa surah Bara’ah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai
wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah
merupakan bagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut
aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan
Bismillahirrahmaanirrahim sera aku meletakkan pula pada as-sab’ut tiwal.
Surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur’an
1. At-Tiwal : adalah tujuh surat awal yang panjang-panjang yaitu :
Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf ,
ketujuh : Al-Anfal dan At-Taubah sekaligus, sebagian ada yang mengatakan
yang ke-tujuh surah Yunus.
2. Al-Mi’un : yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratur
atau sekitar itu.
3. Al-Masani : yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah
Al-Mi’un. Dinamakan Masani, karena surah itu diulang-ulang bacaannya
lebih bnayak dari At-Tiwal dan Al-Mi’un.
4. Al-Mufassal : yaitu surah yang dimulai dari surah Qaf, ada pula
yang mengatakan dimulai dari surah Hujarat. Dinamai Mufassal karena
banyaknya pemisahan fasl (pemisahan) dinatara surah-surah tersebut
dengan basmallah. Mufassal dibagi menjadi tiga :
a. Mufassal Tiwal : dimulai dari surah Qaf atau hujurat sampai dengan ‘Amma atau Buruj.
b. Mufassal Ausat : dimulai dari ‘Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun.
c. Mufassal qisar : dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah terakhir (An-Naas).
a. Mufassal Tiwal : dimulai dari surah Qaf atau hujurat sampai dengan ‘Amma atau Buruj.
b. Mufassal Ausat : dimulai dari ‘Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun.
c. Mufassal qisar : dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah terakhir (An-Naas).
Rasm Usmani
Yang dimaksud dengan rasm Usmani adalah bentuk tulisan (khot)
Al-Qur’an hasil kerja beberapa sahabat Nabi pilihan dalam suatu panitia
penyalin mushaf Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid Bin Tsabit atas
penunjukan Khalifah Usman. Mengenai penulisan Al-Qur’an dengan rasm
Usmani ini ada beberapa pendapat :
1. Rasm (bentuk tulisan) dalam mushaf Usmani adalah taufiqi yang
wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an. Ini pendapat Ibnul Mubarak dan
gurunya Abdul Azis ad-Dabbag.
2. Rasm Usmani bukan taufiqi, tapi cara penulisan yang diterima dan
menjadi Ijma’ umat dan wajib menjadi pegangan seluruh umat dan tidak
boleh menyalahinya.
3. Rasm Usmani hanyalah istilah dan tatacara. Tidak ada dalil agama
yang mewajibkan umat mengikuti satu rasm tertentu dan tidak ada salahnya
jika menyalahi bila orang telah mempergunakan rasm tertentu untuk imla
dan rasm itu tersiar luas diantara mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar
Al-Baqalani.
Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Ahmad melarang penulisan
Al-Qur’an yang menyalahi rasm Usmani.
I’jam (penambahan tanda titik, dll) Rasm Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena
semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih
murni, sehingga tidak memerlukan syakal, harokat dan titik. Ketika Islam
sudah menyebar keluar jazirah Arab dan bahasa Arab mulai mengalami
kerusakan karena banyaknya percampuran dengan bahasa non Arab, maka para
penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan
syakal, titik, harokat dan lain lain yang dapat membantu pembacaan yang
benar. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal
ini adalah Abul Aswad Ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah
bahasa Arab atas petunjuk Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Perbaikan rasm Usmani berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal
berupa titik : fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa
satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal
huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari
huruf dan itulah yang dilakukan oleh Al-Khalil. Perubahan itu adalah
fathah adalah dengan tanda sempang diatas huruf, dammah dengan wawu
kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa (double).
Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan
warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan
warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi
tanda iqlab berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak
(halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwain tidak
diberi tanda apa apa ketika idgam dan ikkhfa’. Setiap huruf yang harus
dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di-idgam-kan tidak
diberi tanda sukun tetapi huruf sesudahnya diberi tanda syaddah;
keculai huruf ta sebelum ta, maka sukun tetap dituliskan.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut
karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan
ucapan Ibnu Mas’ud : “Bersihkan Al-Qur’an dan jangan dicampuradukkan
dengan apapun”. Al-Halimi mengatakan : “Makruh menuliskan perpuluhan,
perlimaan, nama-nama surah dan bilangan ayat dalam mushaf” sedangkan
pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang
mengacaukan antara yang Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an. Titik
merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga
dibolehkan untuk mempermudah pembacaan.
Kemudian akhirnya itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran.
Al Hasan dan Ibnu Sirin keduanya mengatakan : “Tidak ada salahnya
memberikan titik pada mushaf”. Rabiah Bin Abi Abdurrahman mengatakan :
“Tidak mengapa memberi syakal pada mushaf”. An-Nawawi mengatakan :
“Pemberian titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab),
karena ia dapat menjaga mushaf daru kesalahan dan penyimpangan
(pembacaan)”. Penyempurnaan itu terus berlanjut hingga kini telah
mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (Al-Khattul Araby).
Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf
Nash-nash sunah cukup banyak yang mengemukakan hadis mengenai
turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, diantaranya :
Dari Ibnu Abbas : “Rasulullah berkata : ‘Jibril membacakan
(Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku
mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah dan ia pun menambahnya
kepadaku sampai tujuh huruf’”.
Dari Ubay Bin Ka’ab : “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Gafar,
ia didatangi Jibril seraya mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar
membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.’ Beliau menjawab :
‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirallah-Nya, karena umatku
tidak dapat melaksanakan perintah itu.’ Kemudian Jibril datang lagi
untuk kedua kalinya dan berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan
Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.’ Nabi menjawab : ‘Aku memohon
kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat
melaksanakannya.’ Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu
mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada
umatmu dengan tiga huruf.’ Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah
ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Kemudian
Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata : ‘Allah
memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh
huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka benar.’”
Hadis-hadis berkenaan dengan Al-Qur’an dengan tujuh huruf sangat
banyak. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan
oleh lebih dari dua puluh orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam
menetapkan kemutawatiran hadis mengenai Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaan pendapat tentang pengertian tujuh huruf, diantaranya :
1. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna
yang sama, yaitu bahasa suku Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah,
Tamim dan Yaman. Sebagian memasukkan Asad, Rabi’ah, Sa’d. Pendapat ini
maksudnya satu kata boleh dibaca berbeda menurut dialek masing-masing
kabilah diatas selama maknanya masih tetap sama.
2. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Qur’an
diturunkan, yaitu : Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan
Yaman. Bedanya dengan yang pendapat pertama adalah bahasa Al-Qur’an
mencakup dari tujuh bahasa diatas yang paling fasih dan berterbaran di
seluruh Al-Qur’an
3. Tujuh wajah, yaitu : amr (perintah), hanyu (larangan), wa’d
(janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita) dan amsal
(perumpamaan)
4. Tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan),
yaitu ikhtilaf dalam : asma’ (kata benda), i’rab (harakat akhir kata),
tasrif, taqdim (mendahulukan), ibdal (penggantian),
penambahan-pengurangan dan lahjah (tebal-tipis, imalah-tidak imalah,
idhar dan idgam).
5. Qiraat Tujuh.
Pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti
oleh jumhur ulama.
Hikmah Al-Qur’an dengan tujuh huruf :
1. Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa
baca tulis, yang setiap kabilah mempunyai dialek masing-masing.
2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi naluri atau watak dasar
kebahasaan orang Arab yang mana seluruh orang Arab pada khususnya
ditantang untuk membuat satu surah saja yang seperti Al-Qur’an, ternyata
seluruh orang Arab tidak mampu membuatnya.
3. Perbedaan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberi
peluang penyimpulan hukum yang berbeda. Para fukaha dalam menyimpulkan
hukumdan ijtihad ber hujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar