Studi Tafsir Ruh Al-Ma'ani Karya Al-Alusi
I. Pendahuluan
Kajian al-Qur’an memiliki wilayah yang sangat
luas, sehingga tidak berlebihan jika ia diibaratkan sebagai lautan ilmu
yang tak bertepi. Berbagai macam ilmu telah muncul berkat kehadiran
al-Qur’an, mulai dari asba>b al-nuzu>l, na>sikh mansu>kh,
muhkam-mutasya>bih hingga makki-madani dan begitu seterusnya.
Al-Qur’an memang memiliki daya magnet yang luar biasa, tidak saja bagi
orang muslim (insider), tetapi juga bagi non muslim atau orientalis
(outsider).
Tidak keliru jika Nahsr Hamid lalu menyebut al-Qur’an
disamping sebagai muntaj al-s|aqa>fah (produk budaya), ia juga
merupakan muntij al-s|aqa>fah (produsen budaya), yang salah satu
bentuknya adalah lahirnya kitab-kitab tafsir dari klasik hingga
kontemporer.
Secara metodologis, wilayah kajian terhadap al-Qur’an
dapat dipetakan menjadi tiga, yaitu Pertama, kajian mengenai teks
al-Qur’an yang dilakukan untuk membuktikan otentisitas al-Qur’an atau
untuk mengkaji isi kandungan al-Qur’an. Kedua kajian mengenai hasil
penafsiran orang al-Qur’an yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir, yang
biasanya dimaksudkan untuk mendukung, menolak, menguji atau mengkritisi
hasil penafsiran para ulama.
Ketiga kajian tentang respons
masyarakat terhadap al-Qur’an yang dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari, atau yang juga dapat disebut living Qur’an, seperti
fenomena semaan al-Qur’an, proses penghafalan al-Qur’an, ruqyah (baca:
suwuk) menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, doa-doa dari ayat al-Qur’an yang
digunakan untuk kekebalan tubuh dan sebagainya. Dengan kerangka teori
tersebut, maka posisi kajian penulis dalam hal ini berada pada wilayah
kaijian yang kedua, yakni penulis ingin mengkaji hasil penafsiran orang
(dalam hal ini al-Alusi) mengenai al-Qur’an.
Kajian ini
dilatarbelakangi oleh suatu alasan akademis yaitu bahwa kitab Ru>h
al-Ma’a>ni karya al-Alu>si memiliki keunikan tersendiri. Antara
lain bahwa kitab tafsir tersebut sering dianggap oleh sebagian ulama
sebagai kitab tafsir bernuasa sufistik, namun ternyata tidak semua
penafsirannya demikian. Bahkan jika tafsir yang bernuansa sufistik
dianggap tidak ma’qu>l, atau bertentangan dengan kaedah kebahasaan,
maka akan al-Alusi menolaknya.
Keunikan kedua, tafsir Ru>h
al-Ma’a>ni dinilai oleh para ulama sebagai kitab tafsir ensiklopedis,
yang memuat pendapat-pendapat mufassir sebelumnya, terutama pendapat
al-Zamakhsyari dan al-Baidla>wi dan ulama-ulama yang lain. Namun
al-Alu>si cenderung bersifat eklektik dan selektif
(intiqa>’iyyah). Artinya dalam melakukan eksplorasi penafsiran,
al-Alusi tidak hanya mengutip pendapat-pendapat ulama sebelumnya, tanpa
memberikan penilaian terhadap pendapat tersebut, melainkan juga
melakukan kritik dan bahkan penolakan terhadap pendapat tersebut jika
dinilai tidak tepat.
Masalah yang hendak diungkap dalam tulisan
ini adalah bagaimana setting sosio-historis al-Alu>si, latar belakang
penyusunan dan metodologi kitab Ru>h al-Ma’a>ni? Bagaimana pula
pandangan para ulama mengenai kitab tersebut dan contoh aplikasi
penafsirannya? Tulisan ini jelas bukan merupakan kajian yang
komprehensif atas kitab tafsir Ru>h al-Ma’a>ni, namun lebih
merupakan kajian yang bersifat “window shopping” untuk memberikan
semacam “rangsangan” akademik bagi para mahasiswa yang hendak melakukan
kajian lebih lanjut tentang kitab tafsir Ru>h al-Ma’a>ni.
II. Setting Sosio-Historis dan Karier Akademik
Nama lengkap
al-Alu>si adalah Abu> Tsana>’ Syiha>b al-Di>n al-Sayyid
Mahmu>d Afandi al-Alu>si al-Baghdadi. Beliau dilahirkan pada hari
Jumat tanggal 14 Sya’ban tahun 1217 H di dekat daerah Kurkh, Iraq.
Beliau termasuk ulama besar di Iraq yang ahli ilmu agama, baik di bidang
ilmu us}u>l (ilmu pokok) maupun yang ilmu furu>’ (ilmu cabang).
Nisbat
al-Alu>si merujuk kepada suatu daerah di dekat sungai Eufrat antara
Baghad dan Syam (Syiria). Disitulah kelurga dan kakeknya bertemnpat
tinggal. Itulah sebabnya beliau dikenal dengan sebutan al-Alusi. Pada
usia mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri yaitu Syaikh
al-Suwaidi. Disamping itu, al-Alu>si juga berguru kepada Syaikh
al-Naqsha>bandi. Dari yang terakhir ini beliau beliau belajar
tasawuf. Maka wajar jika dalam sebagian uraian tafsirnya, beliau
memasukkan perspektif sufistik sebagai upaya untuk menguak makna batin
(esoteris).
Al-Alu>si dikenal sangat kuat hafalannya
(d}a>bit) dan brilian otaknya. Beliau mulai aktif dalam belajar dan
menulis sejak usia 13 tahun. Seolah beliau tidak ada perasaan malas dan
bosan untuk belajar. Berikut ini pernyataan al-Alu>si, sebagaimana
dikutip oleh Ahmad Akrom:”Aku tidak pernah tidur di malam hari untuk
memurnikan ilmu-ilmu yang tercemar oleh kepentingan-kepentingan kekayaan
dan wanita-wanita cantik” .
Pada tahun 1248 beliau diangkat
sebagai mufti setelah sebulan sebelumnya diangkat menjadi wali wakaf di
madrasah al-Marja>niyyah. Namun kemudian pada tahun 1263 H beliau
melepaskan jabatan dan lebih memilih menyibukkan diri untuk menyusun
tafsir al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan tafsir Ru>h
al-Ma’a>ni.
Setelah karya itu selesai, kemudian ditunjukkan
kepada Sultan Abdul Majid Khan dan ternyata mendapatkan apresiasi yang
luar biasa dari sultan. Bahkan konon bentuk apresiasi pada zaman dulu,
jika seorang penulis berhasil menulis kitab, maka kitab tersebut akan
ditimbang dan dihargai dengan emas seberat timbangan kitab tersebut.
Secara
akademis, al-Alu>si relatif sangat produktif. Tidaklah berlebihan
jika beliau dijuluki dengan H}ujjatul Udaba>’ dan sebagai rujukan
bagi para ulama pada zamannya. Kealiman beliau dapat terlihat dari
karya-karyanya antara lain: H{a>syiyyah ‘ala> al-Qat}r, Syarh}
al-Sa>lim dalam ilmu logika, al-Ajwibah al-‘Ira>qiyyah `an As’ilah
al-Laho>riyyah, al-Ajwibah al-Ira>qiyyah ala> As’ilah
al-Ira>niyyah, Durrah al-G}awâs} fi> Awhâm al-Khawa>s}s},
al-Nafakha>t al-Qudsiyyah fi> Adab al-Bah}s| Ru>h al-Ma’a>ni
fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-`Az}îm wa al-Sab’i al-Mas|a>ni
dan lain-lain. Diantara karya-karya tersebut, tampaknya karya yang
paling populer adalah yang disebut terkhir yang kemudian dikenal dengan
Tafsir al-Alu>si atau Ru>h al-Ma’a>ni. Namun rupanya
al-Alu>si tidak berumur panjang. Pada tanggal 25 Z|ulhijjah 1270 H.
beliau wafat dan dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma’ruf al-Karakhi,
salah seorang tokoh sufi yang sangt terkenal di kota Kurkh .
III. Latar Belakang Penyusunan dan Metodologi Penafsiran
Latar
belakang penulisan kitab tafsir Ru>h al-Ma’a>ni terkesan agak
mistik. Beliau menulis terdorong oleh suatu mimpi, meskipun sebelumnya
telah ada ide untuk menulis tafsir tersebut. Al-Alu>si memang ingin
sekali untuk menyusun sebuah kitab tafsir yang dapat mencakup
persoalan-persoalan yang dianggap urgen bagi masyarakat waktu itu. Namun
rupanya beliau senantiasa dihinggapi keragu-raguan (syak) untuk
merealisasikan ide tersebut.
Akhirnya pada suatu malam, tepatnya
pada malam Jum’at. Bulan Rajab tahun 1252 H, beliau bermimpi disuruh
Allah SWT untuk melipat langit dan bumi, kemudian disuruh untuk
memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada padanya. Dalam mimpinya,
beliau seolah mengangkat tangan satunya ke langit dan yang satunya ke
tempat air. Namun kemudian beliau terbangun dari tidurnya. Mimpi
tersebut lalu dita’wilkan dan ternyata beliau menemukan jawabannya dalam
sebuah kitab bahwa mimpi itu merupakan isyarat untuk menyusun kitab
tafsir .
Lebih lanjut, berbicara metodologi pada prinsipnya adalah
berbicara tentang proses dan prosedur dalam melakukan penelitian atau
penulisan Termasuk dalam komponen metodologi adalah metode, pendekatan,
sistematika penyajian dan sumber-sumber penafsiran. Sacara leksikal
metode diartikan sebagai way of doing anything , yaitu suatu cara yang
ditempuh untuk mengerjakan sesuatu agar sampai kepada suatu tujuan.
Sedangkan pendekatan (approach) adalah perspektif yang dipakai mufassir
dalam melakukan penafsiran.
Metode yang dipakai oleh al-Alusi
dalam menafsirkan al-Qur’an adalah metode tah}li>li. Salah satu yang
menonjol dalam tahli>li (analisis) adalah bahwa seorang mufassir
akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat
yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis dari segi
bahasa, asba>b al-nuzu>l, na>sikh-mansu>khnya dan
lain-lain. Namun biasanya metode tah}li>li tidak mampu menyajikan
sebuah tafsir komprehensif, sehingga seringkali terkesan parsial.
Akibatnya pendangan dunia (world view) al-Qur’an mengenai persoalan yang
dibicarakan sering diketepikan.
Adapun mas}a>dir
(sumber-sumber) penafsiran yang dipakai, al-Alusi berusaha memadukan
sumber ma’tsûr (riwayat) dan al-ra’yi (ijtiha>d). Artinya bahwa
riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsiran
al-Qur’an dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama,
sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Sedangkan
pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah satunya adalah
pendekatan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan pendekatan
bahasa, seperti nahwu-s}araf bala>gah dan sebagainya. Bahkan
sebagaimana penilaian al-Dzahabi, porsi sufistiknya relatif lebih
sedikit.
Adapun sistematika sebagai langkah metodis yang
ditempuhnya, biasanya al-Alu>si menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan
langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat. Dalam analisisnya,
terkadang juga al-Alu>si menyebutkan asba>bun nuzu>l terlebih
dahulu, namun kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya,
kemudian mengutip riwayat hadis atau qawl tabi’in. Sebagai contoh ketika
beliau menafsirkan QS. al-Kahfi (18): 62 beliau menafsirkan sebagai
berikut:
(واذ قال موسى) هو ابن عمران نبي بني اسرائيل عليه السلام
على الصحيح فقد أخرج الشيخان والترمذي والنسائ وجماعة من طريق سعيد ابن
خبير قال قلت لابن عباس رضي الله عنهما ان نوفا البكالي يزعم ان موسى صاحب
الخضر ليس موسى صاحب بني اسرائيل فقال كذب عدوالله ثم ذكرحديثا طويلا فيه
الأخبار عن رسول لله بما هو نص في انه موسى بني اسرائيل (لا ابرح ) من برح
النا قص كزال يزال اي لا أزال اسير فحذف الخبر اعتمادا على قرينة الحال اذ
كان ذلك التوجه الى السفر
Dalam menjelaskan makna kandungan
ayat yang ditafsirkan, al-Alu>si sering mengutip pendapat para
mufassir sebelumnya, baik salaf maupun khalaf. Kemudian beliau memilih
pendapat yang dianggap paling tepat.
Bagi para pembaca kitab
tafsir Ru>h al-Ma’a>ni, perlu mengetahui istilah khusus yang
dipakai al-Alu>si. Misalnya, apabila yang dingutip pendapat Abu>
Su’u>d, istilah yang dipakai :”qa>la Syaikh al-Isla>m”. Jika
yang dikutip pendapat Fakhruddi>n al-Râzi, maka digunakan istilah
:”qa>la al-ima>m”. Dan jika beliau mengutip dari pendapat
al-Baidlâwi, maka dikatakan: ”qa>la al-Qa>d}i”.
Terhadap
riwayat-riwayat isra’iliyya>t yang sering disusupkan dalam beberapa
literatur hadis dan tafsir, al-Alu>si dinilai sangat selektif dalam
mengambil riwayat-riwayat isra’iliyya>t. Hal itu disebabkan karena
beliau banyak menekuni disiplin ilmu hadis dan banyak bergaul dengan
para ulama ahli hadis muta’akhirin. Kalaupun al-Alusi menyebutkan
riwayat-riwayat isra’iliyya>t atau hadis maud}u>’, hal itu bukan
dimaksudkan sebagai dasar penafsiran, melainkan untuk menunjukkan
kebatilan riwayat tersebut dan memberikan tah}z|i>r (peringatan)
kepada kaum muslimin, terutama para peneliti dan mahasiswa.
IV. Komentar Para Ulama terhadap Tafsir Rûh al-Ma’a>ni
Tafsir
Ru>h al-Ma’a>ni ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir
yang bercorak isya>ri (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna
batin berdasar isyarat atau ilham dan ta’wil sufi) sebagaimana tafsir
al-Naisa>buri . Namun anggapan ini dibantah oleh al-Z|ahabi dengan
menyatakan bahwa tafsir Ru>h al-Ma’a>ni bukan untuk tujuan
tafsir isya>ri, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari.
Al-Z|ahabi memasukkan tafsir al-Alu>si ke dalam tafsir bi al-ra’yi
al-mah}mu>d (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).
Penulis cenderung sependapat al-Zahabi, sebab memang maksud utama dari
penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Qur’an berdasarkan
isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Qur’an berdasarkan apa yang
dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang
sahih. Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan
penafsiran secara isya>ri, tetapi porsinya relatif lebih sedikit
dibanding yang bukan isya>ri. Mustinya menetukan corak suatu tafsir
bersadasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian
kecenderungan.
Imam Ali al-S}a>bu>ni sendiri juga menyatakan
bahwa al-Alûsi memang memberi perhatian kepada tafsir isya>ri,
segi-segi bala>ghah dan baya>n. Dengan apresiatif beliau lalu
mengatakan bahwa tafsir al-Alu>si dapat dianggap sebagai tafsir yang
paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi
al-riwa>yah, bi al-dira>yah dan isya>rah.
Menurut
al-Zahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma’ani merupakan kitab tafsir
yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir dengan
disertai kritik yang tajam dan pentarjihan terhahadap pendapat-pendapat
yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M. Quraish
Shihab, Rasyid Rida juga menilai bahwa al-Alusi sebagai mufassir yang
terbaik di kalangan ulama muta’akhkhiri>n karena keluasan
pengetahuannya menyangkut pendapat-pendapat muta’akhkhiri>n dan
mutaqaddimi>n. Namun demikian, al-Alu>si tidak luput dari
kritikan, antara lain dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama
sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dijiplaknya .
V.
Contoh Aplikasi Penafsiran
Salah satu contoh penafsiran
al-Alu>si adalah tentang kisah pertemuan Musa dengan Khid}ir yang
disebutkan dalam surat al-Kahfi. Sebagai berikut: .
وَإِذْ قَالَ
مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ
أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا(60)فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا
حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا(61)فَلَمَّا
جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ ءَاتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ
سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا(62)قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى
الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا
الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ
عَجَبًا(63)قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى
ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا(64) فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا ءَاتَيْنَاهُ
رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا(65)قَالَ
لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ
رُشْدًا(66)قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(67)وَكَيْفَ
تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا(68)قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ
شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا(69)قَالَ فَإِنِ
اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ
ذِكْرًا(70)
Dalam menjelaskan sebab terjadinya pertemuan
antara Musa dengan Khid}ir, al-Alu>si mengutip sebuah hadis riwayat
Imam al-Bukha>ri dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas dari Ubay ibn Ka’ab
yang artinya sebagai berikut: Suatu ketika Musa berdiri berpidato di
hadapan kaumnya, yaitu bani Israil. Lalu beliau ditanya:” Siapakah
orang yang paling alim?”. Jawab Musa:” Saya”. Dengan jawaban itu, Musa
mendapat kecaman dari Tuhannya, sebab beliau tidak mengembalikan ilmu
tadi kepada Allah Swt. Kemudian Allah memberikan wahyu kepadanya, yang
isinya:” Sesungguhnya Aku mempunyai hamba yang berada di
majma’al-Bahrain. Dia lebih pandai dari kamu….” Berdasarkan hadis
tersebut maka al-Alusi menafsirkan bahwa yang dimaksud “Musa” dalam ayat
tersebut adalah Musa Ibn Imran, seorang Nabi bani Israil. Pendapat ini
menurutnya merupakan pendapat yang shahih.
Di samping itu,
al-Alu>si mengemukakan adanya pendapat ahli kitab, sebagian ahli
hadis dan ahli sejarah yang mengatakan bahwa Musa yang disebut dalam
ayat tersebut bukanlah Musa Ibnu Imran, melainkan Musa Ibnu Afrasim Ibnu
Yusuf, yaitu Musa yang diangkat sebagai Nabi sebelum Musa Ibnu Imran.
Hal itu didasarkan kepada alasan-alasan sebagai berikut:
1. Tidak
rasional jika seorang nabi belajar kepada selain nabi. Alasan ini
dibantah oleh al-Alusi bahwa Musa itu bukan belajar kepada selain nabi,
akan tetapi dia belajar kepada seorang nabi juga yaitu Khidir. Jika
alasan ini juga belum memuaskan mereka, dengan dalih bahwa Musa Ibn
Imran lebih utama dari Khidir, al-Alusi memberikan jawaban, adalah
sah-sah saja jika seorang yang derajatnya lebih utama itu belajar kepada
orang yang derajatnya di bawahnya. Sebab secara logika, tidak menutup
kemungkinan ilmu yang dimiliki oleh orang yang di bawah keutamaannya
(al-mafd}u>l) ternyata tidak dimiliki oleh orang yang lebih tinggi
keutamaannya (al-afd}al), sebagaimana dikatakan dalam kalam matsal:”Qad
yu>jad fi> al-Mafd}u>l mâ la> Yu>jadu fî>
al-Fa>d}il”. Terkadang ditemukan sesuatu pada orang yang berada
dibawah keutamaannya sesuatu yang tidak ditemukan pada orang yang utama.
2. Musa setelah keluar dari Mesir bersama kaumnya ke al-Tih
(gurun pasir Sinai), beliau tidak pernah meninggalkan al-Tih dan dia
wafat di sana. Padahal jika kisah ini berkaitan dengan Musa bin Imran
tentu nabi Musa harus keluardari al-Tih, karena kisah itu mungkin tidak
terjadi di Mesir sebagaimana kesepakatan orang .
3. Jika kisah
tersebut berkaitan dengan Nabi Musa bin Imran, tentunya untuk beberapa
hari, ia harus tidak kelihatan oleh kaumnya. Dengan demikian tentunya
orang-orang Bani Israil yang bersamanya mengetahui kisah tersebut dan
akan diceritakan kepada orang lain, sebab kisah tersebut mengandung
hal-hal yang aneh, namun ternyata hal itu tidak terjadi. Maka jelas
bahwa kisah tersebut tidak berkaitan dengan Nabi Musa bin Imran
Alasan kedua dan ketiga juga dibantah oleh al-Alusi, bahwa Musa keluar
dari al-Tih tidak dapat diterima, sebab sebenaranya kisah tersebut
terjadi setelah Nabi Musa menguasai Mesir bersama Bani Israil dan
beliau menetap di sana setelah hancurnya kaum Qibthi. Begitu pula tidak
ada kesepakatan yang menyatakan bahwa kisah tersebut tidak terjadi di
Mesir. Demikian juga kepergian Musa untuk menemui Khidlir terjadi secara
luar biasa. Tidak diketahui oleh umatnya, dikiranya beliau pergi untuk
bermunajat kepada Tuhannya. Musa tidak menecritakan kepada kaumnya
mengenai hakikat kepergiannya, sebab khawatir jika diceritakan akan
merendahkan derajat (“gengsi”) Musa di hadapan kaumnya, mengingat
umatnya tidak semuanya paham bahwa yang demikian itu (yakni Musa beruru
kepada Khid}ir) sebenarnya bukanlah sesuatu yang merendahkan martabat
kenabiannya Musa . Dengan demikian, keingkaran mereka bahwa kisah itu
tidak berkaitan dengan Nabi Musa bin Imran tidak perlu dipedulikan,
sebab secara logika pun hal itu bisa terjadi, apalagi Alllah SWT dan
Rasul-Nya telah menjelaskannya.
Adapun fata> Musa (pemuda
yang menemani Musa) adalah Yusya’ bin Nun ibn Nun ibn Afrasyim ibn
Yusuf. Disebut fata> sebab dia biasa melayani Nabi Musa. Orang-orang
Arab biasa menyebut pelayannya dengan sebutan fata>, sebab pelayan
itu biasanya masih muda. Lalu siapakah hamba shalih yang ditemui Musa?
Menurut jumhur ulama, ia adalah Nabi Khid}ir, dan pendapat ini juga
dianut oleh al-Alusi berdasar hadis shahih riwayat Imam al-Bukha>ri
dan Imam Muslim .
Bagaimana pendapat al-Alusi tentang status
Khid}ir, apakah ia seorang rasul, nabi atau yang lain? Dalam hal ini ada
beberapa pendapat menurut al-Alusi, antara lain:
Pertama, Khidir
itu seorang nabi, bukan seorang rasul. Inilah pendapat jumhur ulama,
berdasarkan firman Allah yang berbunyi: “a>taina>hu rahmatan min
‘indina>”. Mereka menafsirkan bahwa yang dimaksud rahmat adalah
wahyu dan kenabian. Al-Alusi cenderung sependapat dengan jumhur ulama.
Kedua, Khidir adalah seorang rasul. Dalam hal ini al-Alusi tidak
menyebutkan alasan mereka yang berpendapat demikian. Ketiga, Khidlir
adalah malaikat. Pendapat ini menurut al-Alusi dianggap g}ari>b
(nyleneh), sebagaimana dijelaskan juga dalam kitab Syarh} Muslim.
Keempat, Khid}ir adalah seorang wali. Pendapat ini diikuti oleh Imam
al-Qusyairi.
Menurut hemat penulis pendapat jumhur itulah yang
lebih kuat, sebab beberapa alasan lain yang dikemukakan oleh Ibn Hajar
al-Asqalani untuk memperkuat pendapat tersebut, yaitu: Pertama,Ucapan
Khidlir yang disebutkan dalm al-Qur’an: “wa ma> fa’altuhu ‘an
amri>..” memberikan isyarat bahwa yang dilakukannya itu bukan atas
kehendak dirinya, melainkan atas perintah Allah (baca:wahyu). Kedua,
Jika ia bukan seorang nabi, bagaimana ia lebih alim dari Musa? Ketiga,
Jika ia bukan nabi, bagaimana mungkin Musa mau berguru kepadanya?
Keempat, hadis Bukhari-Muslim yang menjelaskan bahwa Khidlir itu seorang
nabi. Inilah yang dikenal dengan penafsiran bi al-ma’s|u>r, yaitu
penafsiran yang berdasar penjelasan langsung dari Nabi, dan nilai
penafsirannya menurut para ulama termasuk yang paling bagus.
Lalu
bagaimana dengan tempat pertemuan Musa dan Khid}ir? Pertemuan Musa
dengan Khid}ir oleh al-Qur’an hanya dikatakan di Majma al-Bah}rain.
Menurut al-Alu>si, untuk menentukan di mana letak Majma’ al Bah}rain,
itu harus berdasarkan riwayat yang shahih. Dalam hal ini al-Alu>si
mengemukakan beberapa riwayat, antara lain:
Pertama, riwayat
Muja>hid, Qatâdah dan lainnya, bahwa yang dimaksud dengan Majma’
al-Bahrain adalah laut Persi dan Romawi. Inilah pendapat yang diikuti
oleh al-Alusi. Kedua, Abu Hayyan berpendapat berdasarkan pendapat Ibn
Athiyyah bahwa majma al-Bahrain itu berada di daerah dekat Syam. Ketiga,
Muhammad ibn Ka’ab al-Quraz}i berpendapat bahwa majma al-Bahrain berada
di Thanjah yaitu pertemuan antara Laut Tengah dengan Laut Atlantik di
Selat Giblartar (Jabal T}ariq).
Menurut hemat penulis,
mengetahui di mana majma al-Bah}rain bukanlah hal yang penting dalam
kisah tersebut, mengingat al-Qur’an sendiri tidak menjelaskannya. Maka
lebih baik hal itu di-mauqu>f-kan saja, apalagi tidak ditemukan
hadis sahih dari Nabi yang menjelaskan hal itu. Sebenarnya al-Alusi
juga banyak menjelaskan riwayat-riwayat lain, selain yang di atas tadi.
Namun s}I>gat (bentuk) riwayatnya menggunakan bentuk fi’il mabni
majhu>l, yaitu dengan kata qi>la, yang dalam kaedah Ilmu
Musthalah Hadis disebut dengan s}i>gat al-tamri>d (bentuk
penyataan bahwa riwayat tersebut “sakit”) yang berarti riwayat tersebut
lemah, maka tidak bisa dijadikan hujjah .
Al-Alu>si juga
menjelaskan adanya penafsiran secara metaforis (majazi), yaitu bahwa
majma al-Bah}rain adalah Nabi Musa dan Khidir itu sendiri. Sebab
keduanya merupakan lautan ilmu. Namun menurut al-Alusi, ta’wil orang
sufi seperti itu yang tidak tepat. Apalagi jika dilihat dari siyaq
al-kala>m (konteks kalimat). Ayat yang berbunyi h}atta> abluga
majma al-bah}rain berarti sehingga saya sampai ke tempat dua laut.
Jadi, majma’ al-bah}rain itu sebagai objek, sedang d}ami>r (kata
ganti) yang ada pada kata ablugha yang merujuk pada Nabi Musa sebagai
Fa>’il (Subjek).
Al-Alusi sendiri menafsirkan majma al-bah}rain
dengan multaq al-bah}rain yang merupakan nota bene isim makan, yaitu
kata benda yang menunjukkan tempat. Demikian pula al-Qurt}u>bi
menolak penafsiran secara metaforis tersebut, sebab dalam hadis shahih
juga dinyatakan lautan air.
Selanjutnya, dalam menafsirkan ayat
wa’allamna>hu milladunna ‘ilma>, al-Alu>si menyatakan bahwa
ayat tersebut merupakan dasar yang dipakai oleh para ulama untuk
menetapkan adanya ilmu ladunni atau yang disebut pula dengan ilmu
hakikat atau ilmu batin (esoteris) yaitu ilmu yang diberikan langsung
oleh Allah, yang tidak dapat diperoleh tanpa taufiq-Nya, ilmu yang
tidak diketahui secara mendalam tentang hakikatnya dan tidak dapat
diukur kadarnya, ia meruapakan ilmu gaib.
Adapun cara pemberian
ilmu ladunii tersebut ada dua kemungkinan. Pertama dengan perantaraan
wahyu yang didengar dari malaikat sebagaimana wahyu al-qur’an yang
diterima Nabi Muhammad. Kedua, mungkin pula melalui isyarat dari
malaikat, tanpa menjelaskan dengan kata-kata. Inilah yang juga disebut
ilham dan malaikat yang membawanya juga disebut malaikat ilham. Ilham
dapat diterima nabi dan selain nabi. Untuk mendapatkan ilham ladunni
diperlukan pensucian batin (tahthhîr al-qalb). Oleh sebab itu, sebagian
orang menyebutnya dengan ilmu batin atau ilmu hakikat.
Sebagian
orang sufi beranggapan bahwa ilmu batin atau ilmu hakikat itu boleh
menyalahi ilmu lahir atau ilmu syariat. Dengan kata lain, orang yang
telah menggapai derajat ilmu hakikat boleh menyalahi syariat dengan
alasan bahwa Khidir juga telah menyalahi syariat Nabi Musa. Anggapan
tersebut dibantah oleh al-Alusi. Dengan tegas al-Alusi menyatakan
ha>z|a za’mun ba>til, ‘a>t}il khayal fa>sidun. Ini adalah
anggapan yang keliru, omong kosong ilusi dan salah.
Menurut
hemat penulis bantahan al-Alusi adalah tepat, sebab jika ilmu hakikat
dapat menyalahi syariat dibenarkan, maka seseorang dapat saja mengaku
telah mencapai tingkat hakikat sebagi alasan untuk meninggalkan syariat.
Akibatnya akan terjadi “desyari’atisasi” atau sikap anti syariat., dan
klaim bahwa ia telah gugur dari kewajiban menjalankan syariat.
Oleh
sebab itu, Syaikh T}ahir S}a>lih al-Jaza>’iri menolak keras
terhadap pandangan seperti itu. Beliau mengatakan “Adalah kufur orang
yang menduga bahwa dalm syariatadadimensi batin yang boleh menyalahi
dimensi lahirnya, lalu ia mengklaim bahwa ia telah sampai kepada
tingkatan hakikat.”
Dalam diskurus ilmu tasawuf memang
dikenal tingkatan syariat, tharikat dan haqiqah. Syariat yang dimaksud
adalah aturan-aturan lahir yang ditentukan misalnya seperti hukum
halal haram, sunah makruh dan sebagainya. Termasuk pula amaliah seperti
shalat puasa jihad zakat haji dsb. Sedang t}ari>qah jalan yang harus
ditempuh oleh seorang salik untuk mendapatkan keridha’anNya dalam
mengerjakan syariat, seperti sikap ikhla>s, mura>qabah,
muh}a>sabah tajarrud, ‘isyq, h}ubb dan sebagainya. Sedangkan
h}aqi>qah yaitu kebenaran sejati dan mutlak yang nota bene merupakan
puncak perjalanan spiritual seseorang.
Namun mustinya ketiga
dataran tersebut harus dilihat dengan paradigma struktural sekaligus
fungsional, dimana satu dengan lainnya tidak boleh dipisah-pisahkan.
Sebagaimana disebut dalam kitab Bida>yah al-Azkiya>’, bahwa
hubungan ketiga dataran (syariat, tarikat dan hakikat) digambarkan
sebagai berikut:
فشريعة كسفينة وطريقة كالبحر ثم حقيقة در غلي
Artinya:
Syariat
itu bagaikan ibarat perahu, sedang tarikat bagaikan laut dan dan
hakikat itu inti mutiaranya yang mahal.
Dalam syarh} } kitab tersebut dijelaskan bahwa meskipun seseorang telah mencapai tingkatan hakikat, ia tetap terkena takli>f (tugas) syariat untuk menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh al-Qur’an dan hadis.
Berkenaan
dengan QS. al-Kahfi (18): 66-70 penjelasan al-Alusi secara ringkas
sebagai berikut, bahwa setelah Nabi Musa bertemu dengan Khidir, maka
Musa minta izin kepada Khid}ir untuk mengikutinya dan minta agar
Khid>ir mau mengajarinya. Hal ini dapat dipahami dari ayat: hal
attabi’uka `ala> antu’allimanî mimma> ‘ullimta rusyda>. Huruf
‘ala>, menurut kaidah bahasa Arab berarti bahwa jumlah sesudahnya
merupakan syarat.
Ilmu yang diharapkan Musa adalah rusyd yang
menurut al-Alusi berarti ishabtul khair (ilmu yang dengannya seseorang
dapat tepat dalam mengetahui kebaikan). Nabi Khidlir pun mau menerima
permintaan Musa dengan catatan jika nanti berada diperjalanan Musa
melihat hal-hal yang aneh yang dilakukan Khidlir, dia tidak boleh
bertanya, sehingga Khidlir sendiri yang akan menjelaskannya. Nabi
Khidlir pun sebenarnya sudah tahu bahwa Musa tak akan mampu
menyertainya. Hal itu tampak dari pernyataan Khidlir yang direkam dalam
al-Qur’an إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا(67)وَكَيْفَ تَصْبِرُ
عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا(68) (QS al-Kahfi [18] : 66-67).
VI. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
tafsir al-Alusi termasuk kitab corak tafsi>r bil ra’yi
al-mah}mu>d dengan metode tah}li>li, meskipun ada sebagian ulama
yang menganggapnya sebagai corak tafsir sufi. Namun jika dilihat dengan
perspektif min ba>b al-tagli>b --meminjam istilah al-Zahabi-- maka
anggapan bahwa tafsir Al-Alu>si sebagai tafsir bercorak sufi jelas
terlalu berlebihan, sebab porsi sufistiknya ternyata relatif sangat
sedikit.
Dibanding tafsir-tafsir lain, seperti tafsir
al-Kha>zin atau bahkan al-T}abari misalnya, tafsir al-Alu>si
relatif lebih selektif dalam mengutip riwayat dan pendapat dari orang
lain. Sumber-sumber yang dipakai disamping ayat al-Qur’an dan hadis,
al-Alu>si menggunakan analisis linguistik dan bahkan informasi para
sejarawan yang dinilai akurat. Al-Alu>si termasuk orang yang sangat
selektif terhadap riwayat-riwayat israiliyya>t, disebabkan karena
beliau mau menekuni ilmu hadis. Dari sini, maka idealnya seorang
mufassir juga merupakan muh}addis|, sebab antara tafsir dan hadis
(atau jukta posisi yang lebih tepat adalah antara al-Qur’an dan hadis)
merupakan taw’ama>ni (dua saudara kembar) yang tidak dapat
dipisah-pisahkan (inseparable), sehingga keduanya musti dikaji secara
seimbang.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar