Teori Kritis dalam Ilmu Hubungan Internasional
Kajian teori kritis dalam ilmu hubungan internasional pada hakekatnya
bukan ide baru. Nilai teori kritis pertama kali muncul pada abad
pencerahan melalui tulisan Kant dan Hegel. Kant dan Hegel mengeluarkan
tulisan yang memuat tinjauan kritis seputar refleksi perkembangan sosial
dan masyarakat saat itu. Masyarakat Eropa pada abad pencerahan
merupakan hasil dari pergolakan melawan batasan-batasan gereja terhadap
perkembangan ilmu (alam) saat itu yang dinilai menyalahi doktrin gereja.
Selain itu, masyarakat Eropa berada dalam suatu kekacauan sosial dan
politik karena distribusi power yang tidak simetris. Sehingga Kant
beranggapan persoalan power tersebut akan teratasi apabila terdapat
hukum (internasional) yang mengatur (Devetak, 2004: 146).
Adanya perkembangan ilmu alam sebagai suatu metodologi baru pada
1960-an berimplikasi pada perkembangan ilmu sosial pada khususnya. Ilmu
sosial kemudian cenderung mengadopsi kaidah ilmiah ilmu alam dalam
konseptualisasi teorinya. Teori kritik pun banyak mendapat pengaruh
dengan menggunakan pendekatan-pendekatan baru dalam mengkaji teorinya.
Antara lain lebih menggunakan ilmu sosiologi, pertama kali dimotori oleh
Frankfurt School. Menurut tradisi Frankfurt School
teori kritis muncul untuk digunakan sebagai atribut suatu filofi yang
mepertanyakan kehidupan politik dan sosial modern melalui suatu metode
kritik native. Tindakan tersebut merupakan usaha secara luas untuk
memulihkan perspektif kebebasan dan krtis terhadap seeautau yang telah
dilemhakan oleh tren sosial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi
intelektual (Devetak, 2004: 138). Selain itu esensi utama teori kritis
oleh Frankfur School adalah untuk memahami karakter sentral
masyarakat sekarang dengan memahami perkembangan sejarah dan sosialnya
dan menelaah kontradiksi sekarang yang mungkin membuka kemungkinan yang
melampaui masyarakat saat ini (Devetak, 2004: 138).
Adapun karakteristik nilai-nilai teori kritis meliputi penjelasan
yang bersifat “emancipatory“ atau menawarkan kebebasan berpikir dalam
menafsirkan suatu peristiwa. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa
teori kritis bertujuan untuk membuka segala kemungkinan penafsiran yang
terbebas dari segala prasyarat-prasayarat utama yang terdapat dalam
teori mainstream. Karakteristik ini berasal dari kebebasan berpikir oleh
Kant dan Hegel. Kebebasan tersebut membuka peluang bahwa suatu teori
hadir untuk kemudian dikritisi supaya perkembangannya bersifat
berkelanjutan sebagaimana dialektika Hegel. Dialektika Hegel
mengungkapkan bahwa suatu ide akan terus menerus berkembang tanpa henti.
Yang menjadi ciri pertama, teori kritis ini banyak ditemukan dalam
ranah ekonomi politik internasional pada era terjadinya Great Depression
sebagai suatu simbol kegagalan kapitalisme dan liberalisasi ekonomi
yang mendatangkan keterpurukan sistem ekonomi dan politik internasional.
Saat itu banyak negara berlomba-lomba mencari pengganti tatanan ekonomi
liberal sehingga beberapa negara kemudian menemukan alternatif yakni
Marxisme sebagai suatu jawaban permasalahan ekonomi liberal yang
cenderung menciptakan dua kelas yakni pemilik modal dan proletar.
Negara-negara core menjadi semakin kaya dengan terus menerus mengeruk
keuntungan negara-negara pinggiran yang secara ekonomi terbelakang tapi
kaya sumber daya alam. Eksploitasi kapital dan modal sehingga terpusat
pada negara-negara inti inliah yang disinyalir mengakibatkan depresi
ekonomi.
Karakteristik kedua ialah menolak teori tradisional (mainstream) yang
cenderung memisahkan antara pendekatan subjek dan objektif. Menurut
teori kritis, tidak ada teori yang benar-benar bersifat objektif.
Menurut teori kritis, penjelasan itu pada akhirnya tidak bersifat bebas
nilai. Hal ini berasal dari kecenderungan teori mainstream dalam menolak
jika teorinya mengandung nilai-nilai tertentu yang sudah pasti
dipengaruhi oleh suatu kelompok individu dengan tujuan spesial.
Sedangkan bebas nilai menurut teori kritis adalah, teori itu tidak bisa
semata-mata dilepaskan dari subjeknya. Artinya, teori penjelasan
terhadap suatu peristiwa mesti merupakan refleksi apa yang terjadi di
masyarakatnya meliputi sosial, budaya, politik dan ideologinya.
Karakteristik ketiga menyatakan meskipun teori kritis seolah tidak
pernah melibatkan level internasional secara langsung, bukan berarti
wacana internasional kemudian berada di luar perhatiannya. Kant secara
jelas mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di lingkup internasional
adalah signifikasi luas terhadap pencapaian emansipasi universal
(Devetak, 2004: 140).
Terdapat dua pendekatan dalam memahami teori kritis sebagaimana yang
ditulis oleh Robert Cox (1981), yakni pendekatan problem-solving
dan pendekatan kritis. Pendekatan problem solving atau disebut pula
pendekatan tradisional lebih memfokuskan pada solusi yang diperoleh
melalui pemisahan subjek terhadap objek sehingga dihasilkan suatu solusi
yang benar-benar objektif. Berlawanan dengan itu, pendekatan kritis
memfokuskan pada solusi yang diperoleh melalui konsolidasi subjek dan
objek karena menurutnya tidak ada solusi yang benar-benar objektif dan
bebas nilai dari subjeknya, seperti masyarakat yang dipengaruhi oleh
budaya sosial, politik, ekonomi bahkan ideologi yang melekat sebagai
atribut natural society. Menurut pendekatan ini, teori hubungan
internasioanl selalu disituasikan oleh pengaruh sosial, ekonomi,
politik, dan ideologi (Devetak, 2004: 142). Kehadiran pendekatan ini
adalah untuk menjelaskan yang sebelumnya luput dari evaluasi dan bila
mungkin melakukan perubahan (transformation).
OPINI
Lantas apa kontribusi teori kritis terhadap teori hubungan
internasional? Kontribusi teori kritis antara lain menjadi jemabatan
ilmu pengetahuan dengan politik. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan
terhadap pengaruh yang tersituasi oleh keadaan perkembangan sosial,
budaya, politik dan ideologi terhadap politik sangatlah signifikan.
Sebagaimana ekonomi dan politik saling mempengaruhi dalam kajian ekonomi
politik internasional. Teori kritis menghadirkan pendekatan alternatif
dalam mengevaluasi suatu persoalan. Teori kritis hadir sebagai suatu
evaluasi teori mainstream hubungan internasional yang cenderung
memisahkan pendekatan subjektif dan objektif dengan dalih mendapatkan
suatu solusi yang benar-benar obyektif. Padahal teori-teori mainstream
tersebut sebagian besar hadir atau lahir guna melayani kepentingan
individu dengan tujuan spesial. Misalnya teori liberal hadir denga
postulat ekonomi yang semestinya diberi ruang gerak sebebas-bebasnya
tanpa campur tangan pemerintah. Kepentingan yang diwakili oleh postulat
liberal adalah kepentingan pemilik modal yang menginginkan kompetisi
seluas-luasnya dengan tujuan menghilangkan batasan-batasan ekonomi
seperti proteksionisme dan isolasionisme pemerintah nasional terhadap
barang impor yang masuk (Frieden, 2006). Teori mainstream yang lain
adalah realisme yang mengasumsikan power adalah unsur utama yang
menciptakan kedudukan negara paling krusial. Teori ini muncul sebagai
pembenaran terhadap segala kebijakan negara meliputi ekspansi wilayah,
ekonomi, sphere of influence yang tentu saja bertujuan melayani
kepentingan negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional.
Dua contoh di atas hanyalah sebagian kecil yang kemudian dikritisi oleh
teori-teori sesudahnya misalnya possitivisme, postmodernisme, English
school (yang menekankan kajian studinya pada society)¸constructivisme
(yang mengfokuskan kajiannya pada unsur-unsur terkecil suatu
persoalan), feminisme (yang mengkritisi perkembangan isu seputar gender
dalam hubungan internasional dan sebagainya. Apabila ada yang menanyakan
apakah hubungan dari banyak teori tersebut di atas denga teori kritis,
saya menjawabnya sebagai suatu “opsi” atau pilihan bagi sarjana hubungan
internasional demi mendapatkan penjelasan yang luas dan mendalam
terhadap suatu kejadian dengan berkaca pada influence yang
terkondisikan oleh masing-masing (secara relatif) perkembangan/
transformasi sosial, budaya, ekonomi, politik, dan ideologi
masyarakatnya.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar